Saturday, May 9, 2020

MAKALAH HARTA FIQH MUAMALAH


BAB II.
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Harta
    Harta atau mal jamaknya amwal, secara etimologis mempunyai beberapa arti yaitu condong, cenderung, dan miring. Karena memang manusia condong dan cenderung untuk memiliki harta. Ada juga yang mengartikan al-mal dengan sesuatu yang menyenangkan mannusia dan mereka menjaganya, baik dalam bentuk materi maupun manfaat. Ada juga yang mengartikan dengan sesuatu yang dibutuhkan dan di peroleh manusia baik benda yang tanpak seperti emas, perak, binatang, tumbuhan, maupun yang tidak tanpak, yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal. Oleh karena itu sesuatu yang tidak di kuasai manusia tidak bisa dinamakan harta, seperti burung di udara, ikan di air, pohon di hutan, dan barang tambang yang ada di bumi.
    Adapun penegrtian harta secara terminologis, yaitu sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan memberikannya atau menyimpannya. Sesuatu yang tidak dapat disimpan tidak bisa disebut harta.
    Ulama’ Hanafi berpendapat bahwa harta adalah segala sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan ketika kebutuhan ( sesuatu yang dapat di miliki , disimpan dan dimanfaatkan). Sementara itu menurut jumhur ulama’adalah bahwa bagi jumhur Ulama’ adalah harta tidak saja bersifat materi, namun juga nilai manfaat yang terkandung di dalamnya . sesuatu dikatan harta jika mengandung keduannya sekaligus. Ia bersifat materi dan materi tersebut mempunyai manfaat.
     Sedangkan bagi Ulama Mazhab Hanafi, pengertian harta hanya menyangkut materi, sedangkan manfat termasuk ke dalam pengertian hakmilik. Artinya, pembahasan tentang harta adalah pembahasan tentang materi benda. Sedangkan manfaat tidak termasuk dalam pembahasan harta, akan tetapi masuk dalam pembahasan hak milik.
     Kedua pendapat ini memiliki akibat, bahwa apabila seseorang mempergunakan harta orang lain secara ghasab. Menurut jumhar Ulama’ orang tersebut dapat di tuntut ganti rugi. Karena manfaat dari harta tersebut telah diambil oleh peng-ghasab di pandang telah mengambil harta, karena telah mengambil manfaat dan manfaat di pandang sebagai harta. Namun , bagi Mazhab hanafi sebaliknya.bahwa bagi peng-ghasab tidak bisa di tuntut ganti rugi, sebab hakekatnya ia tedak sedang mengambil harta. Peng-ghasab di pandang sebatas mengambil manfaatnya tidak mengambil harta.
Dalam kasusu sewa menyawa; apabila seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain, kemudian pemilik rumah wafat, maka kontrak sewa menyewa tyersebut harus dibatalkan, dan rumah harus di serahkan kepada ahli warisnya, karena manfaat tidak termasuk harta yang bisa diwariskan; sementara pendapat jumhur menyatakan kontrak tersebut dapat berlangsung terus sampai masa kontak habis, karena manfaat adalah harta yang dapat diwariskan.
Unsur-unsur Harta
  Menurut ulama harta mempunyai dua unsur, yaitu unsur ‘aniyah dan unsur ‘urf. Unsur ‘aniyah yaitu bahwa harta itu ada wujudnya dalam keanyataan. Manfaat sebuah rumah di pelihara manusia tidak diosebut harta, tetapi disebut hak milik atau hak.unsur ‘urf yaitu segala sesuatu yang dipanndang harta olehsseluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatau kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah manfaat manakwiyah.
Fungsi Harta sesuai syariat islam adalah sebagai berikut:
1.      Kesempurnaan ibadah mahdhah, karena ibadah memerlukan sarana,seperti kain dan mukena untuk menutup aurat.
2.      Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepadaAllah SWT, karena kefakiran dapat membawa kepada kekufuran.
3.      Meneruskan estafet kehidupan, karena Allah melarang meninggalkan generasi penerus yang lemah dalam bidang ekonomi.
4.      Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat.
5.      Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.
6.      Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, sehingga orang kaya dapat memberikanpekerjaan kepada orang miskin.

B.     Pembagian Harta Dan akibat hukumnya
Harta menurut hukum islam dibagi menjadi beberapa bagian ditinjau dari beberapa segi masing-masing bagian mempunyai ciri-ciri khusus dan hukum-hukum tersendiri.
1.      Ditinjau dari segi ada tidaknya perlindungan dan kedudukan keadaan dari syara’ atau ditinjau dari segi diperbolehkannya atau tidak mengambil manfaatnya oleh syara’, dibagi menjadi dua yaitu Al-Mutaqawwim (Benda Bernilai) dan Ghairu Mutaqawwim (Benda tidak Bernilai).
Benda mutaqawwim merupakan benda yang mempunyai nilai menurut syara dan dilindunginya, oleh karena itu orang yang bukan pemiliknya dituntut mengganti dengan benda atau serupa apabila merusakkannya. Contoh benda mutaqawwim yaitu uang, runah, tanah yang dimiliki, dan sebagainya.
Benda ghairu mutaqawwim merupakan benda yang dapat diambil manfaatnya, tetapi belum dikuasai (dengan perbuatan) atau disimpan oleh seseorang, yakni benda-benda bebas (al-Mubahah) atau benda-benda yang dikuasai atau disimpan, tetapi tidak diperbolehkan mengambil manfaatnya oleh syara’ dalam keadaan biasa bukan terpaksa.
Berdasarkan pengertian tersebut emas yang masih dalam tanah, binatang buruan dihutan belantara, ikan dilaut, dan sebagainya meskipun halal bukan termasuk benda mutaqawwim karena belum dikuasai atau diambil seseorang meskipun boleh diambil manfaatnya serta tidak ada larangan untuk memilikinya. Benda-benda tersebut dipandang sebagai benda bebas (al-mubahah) dan tidak ada perlindungan syara terhadapnya, oleh karena itu apabila seseorang merusaknya tidak ada tuntutan untuk menggantinya.
Ada problem hukum yang perlu diperhatikan, misalnya ketika terjadi jual beli  khamr oleh orang-orang non muslim yang berada di negeri Islam. Menurut pendapat mazhab Syafi’iyah bahwa orang non muslim yang melakukan transaksi khamr dinegeri Islam  dilarang, karena khamr adalah benda ghairu mutaqawwim bagi orang Islam, mereka yang berada di negeri Islam harus tunduk dengan sistem yang berlaku di negeri Islam, sehingga khamr harus dilenyapkan. Berbeda dengan pendapat mazhab hanafi, orang-orang non muslim yang berada di negeri Islam boleh melakukan transaksi khamr karena menurut keyakinan mereka khamr adalah harta bernilai. Untuk itu maka negeri Islam harus menghormati keyakinan orang non muslim karena mereka telah membayar pajak berupa jizyah pada negara Islam. Dan ketika Umar bin Khattab sebagai khalifah beliau tidak melenyapkan khamr milik orang Yahudi, hanya menarik pajak 10% dari hasil transaksi khamr dari mereka.
2.      Ditinjau dari segi tetap tidaknya suatu benda dari tempat asalnya, benda dibagi menjadi dua yaitu al-Uqar (benda tetap) dan al-Manqul (benda bergerak).
Benda al-Uqar yaitu harta yang tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, misalnya, tanah, rumah atau dalam istilah hukum perdata barat disebut benda tetap.
Benda al-Manqul yaitu harta yang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, seperti, kursi, meja, sepeda, atau dalam istilah hukum perdata barat disebut dengan benda bergerak.
Akibat hukum dari pembagian kedua benda tersebut (al-Uqar wa al-Manqul) adalah:
a.       Syuf’ah (pro-emption) atau hak seseorang pembeli membeli lebih dahulu daripada orang lain tidak berlaku pada benda yang dijual kecuali benda tetap, dan tidak berlaku syuf’ah jika benda tersebut berupa benda bergerak.
b.      Wakaf berlaku pada benda tetap berdasarkan kesepakatan para fuqaha. Adapun untuk benda bergerak terdapat perbedaan pendapat. Menurut pendapat Muhammad bin Hasan dari mazhab Hanafi, bahwa wakaf harus dengan benda tetap, tidak boleh dengan benda bergerak, kecuali berdasarkan pada asar yang shahih seperti mewakafkan kuda atau senjata atau mewakafkan kitab.
c.       Penerima wasiat (al-washi) terhadap harta yang ditahan (al-qashir), jika harta tersebut benda tetap, maka si penerima wasiat tidak boleh menjualnya, kecuali untuk melunasi hutang atau karena adanya unsur maslahah dan syara membolehkan.
d.      Pemanfaatan oleh pembeli benda tetap sebelum adanya penyerahan barang tersebut menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf dibolehkan. Sedang menurut Imam Syafi’i dan Muhammad, tidak boleh memanfaatkan benda tetap yang telah dibeli sebelum adanya penyerahan bendanya. Apabila bendanya dapat bergerak, para fuqaha sepakat tidak boleh memanfaatkan benda yang dibeli sebelum ada penyerahan kepada pembeli, karena untuk menjaga jangan sampai terjadi penyalahgunaan terhadap pemakaian benda bergerak tersebut, sehingga prinsip menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.
e.       Hak irtifaq hanya berhubungan dengan benda tetap bukan benda bergerak.
3.      Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya persamaan dalam dunia perdagangan, benda dibagi menjadi dua yaitu al-Mitsli (benda persamaan) dan al-Qimi (benda tidak ada persamaan). Hukum perdata membagi benda menjadi benda yang dapat diganti dan dengan benda yang tidak dapat dibagi.
Malul Mitsli (Benda yang ada persamaannya) adalah harta yang ada persamaan kesatuannya dapat berdiri sebagiannya ditempat sebagian yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu diperhatikan (dinilai), misalnya: beras C4, uang rupiah, uang dollar, dan lain-lain. Atau dengan istilah: Harta yang mudah diperoleh persamaannya di pasar-pasar atau di mana saja tanpa berlebih kurang.
Malul Qimi (Benda yang tidak ada persamaannya) adalah harta atau benda yang berlebih kurang kesatuan-kesatuannya, karenanya tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lain tanpa ada perbedaan, misalnya: Rumah A tidak sama dengan rumah B, karena sama-sama jenis rumah, tetapi rumah A kualitas bangunan dan ukurannya akan beda dengan rumah B. Atau dengan istilah: Harta yang tidak diperoleh padanannya di pasar atau di tempat lain, atau diperoleh akan tetapi dengan berlebih kurang dari nilai harganya.
Akibat hukum dari kedua pembagian benda tersebut adalah:
a.       Apabila seseorang berhutang benda mitsli atau merusakkannya, maka harus mengganti dengan benda yang semisal, sebaliknya jika bendanya qimi, maka dzimah (tanggung jawab) membayarnya atau mengembalikannya berupa harga barangnya bukan benda semisalnya.
b.      Apabila benda tersebut milik bersama (musyarakah), jika bendanya berupa mitsli, maka masing-masing anggota sekutu bisa mengambil yang menjadi bagiannya tanpa menunggu izin dari sekutu yang lain, lain halnya jika benda tersebut berupa qimi yang belum dipisah-pisahkan satu sama lain, maka anggota pemilik sekutu harus menunggu izin sekutu lain[1][9]
4.      Ditinjau dari segi pemakaian yaitu apakah dipakai sekali habis atau beberapa kali, benda dibagi menjadi dua yaitu al-Istihlaki dan al-Isti’mali.
Al-Istihlaki yaitu suatu benda yang hanya dapat dipakai sekali kemudian habis, seperti makanan, minuman, kayu bakar, kertas tulis, dan sebagainya.
Benda-benda ini ada dua macam, yaitu:
a.       Istihlaki Haqiqi (sebenarnya) ialah benda-benda yang dipakai sekali benar-benar habis, seperti minuman, kayu bakar dan sebagainya.
b.      Istihlaki Haquqi (menurut hukum) ialah benda-benda yang dipergunakan sekali habis meskipun bendanya masih utuh seperti mata uang yang dipergunakan untuk membayar utang dianggap habis meskipun benda-bendanya masih utuh (ditangan yang lain) kertas tulis dianggap habis apabila telah dipergunakan menulis.
Al-Isti’mali  yaitu benda-benda yang tidak habis atau musnah dengan dipakai sekali tetapi dapat dipakai beberapa kali, menurut sifatnya masing-masing, seperti kebun, tempat tidur, pakaian, dan lain sebagainya.
Akibat hukum dari pembagian benda tersebut adalah terletak pada dapat tidaknya benda-benda tersebut menerima akad:
a.       Benda Isti’mali tidak menerima akad yang berlaku pada benda istihlaki dan sebaliknya, karena akad dalam benda isti’mali ditujukan kepada manfaat bendanya, sedang barangnya masih tetap utuh, akan tetapi akad dalam benda istihlaki memanfaatkan bendanya harus dengan cara menghabiskan benda itu sendiri.
b.      Benda Istihlaki berlaku untuk akad qard (utang piutang uang), sedangkan benda isti’mali berlaku untuk akad ijarah (sewa menyewa).
5.      Ditinjau dari segi apakah benda merupakan materi kongkrit dalam kekuasaan sendiri ataukah merupakan sesuatu benda dalam tanggungan orang lain, benda dibagi menjadi dua yaitu al-Ain dan ad-Dain.[2][12]
Malul ‘ain yaitu harta berupa barang yang kelihatan. Misalnya: kuda, roti, rumah dll. Harta Ain dibagi menjadi dua bagian[3][13] :
a.    Harta ‘ain dzati qimah yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai. Harta ‘ain dzati qimah meliputi :
1.    Benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya.
2.    Benda yang dianggap harta yang tidak boleh diambil manfaatnya.
3.    Benda yang dianggap sebagai harta yang ada sebangsanya.
4.    Benda yang dianggap harta yang sulit dicari sepadanya yang serupa.
5.    Benda yang dianggap harta berharga dan dapat dipindahkan (bergerak)
6.    Benda yang dianggap harta berharga dan tidak dapat dipisahkan (tetap)
b.    Harta ‘ain ghayr dzati qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki nilai atau harga, misalnya sebiji beras.
Malud Dain yaitu sesuatu yang berada dalam tanggung jawab. Maksudnya Ialah kepemilikan atas suatu harta dimana harta masih berada dalam tanggung jawab seseorang, artinya si pemilik hanya memiliki harta tersebut, namun ia tidak memiliki wujudnya dikarenakan berada dalam tanggungan orang lain. Misalnya sejumlah uang yang dihutangkan
6.      Ditinjau dari segi apakah dapat atau tidaknya dimiliki, benda dibagi menjadi Al Mulk, Al Mahjur, dan Al Mubah
Mal al mamluk Ialah sesuatu yang merupakan hak milik baik milik perorangan maupun milik badan seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk terbagi menjadi dua macam, yaitu
1.      Harta perorangan (mustaqih) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang dikontrakkan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seorang yang mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
2.      Harta pengkongsian antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bula knepada orang lain.
Mal Mubah yaitu sesuatu yang pada asalnya bukan merupakan hak milik perseorangan seperti air pada air mata, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di lautan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya, sesuai dengan kaidah : “Barang siapa yang membebaskan harta yang tidak bertuan, maka ia menjadi pemiliknya”
Mal Mahjur yaitu harta yang dilarang oleh syara’ untuk dimiliki sendiri dan memberikannya kepada orang lain. Adakalanya harta tersebut berbentuk wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan-kuburan, dan yang lainnya.
7.      Ditinjau dari segi dari sumber benda, benda dibagi menjadi Aa Ashl (harta pokok) dan Ats tsamarah (harta hasil).
Harta pokok ialah harta yang memungkinkan darinya muncul harta lain. Dan Harta hasil ialah harta yang muncul dari harta lain (harta pokok)
Pokok harta juga bisa disebut modal, misalnya uang, emas, dan yang lainnya, contoh harta pokok dan harta hasil ialah bulu domba dihasilkan dari domba, maka domba merupakan harta pokok dan bulunya merupakan harta hasil, atau kebau yang beranak, anaknya dianggap sebagai tsamarah dan induknya yang melahirkan disebut harta pokok.
8.      Ditinjau dari dapat tidaknya dibagi, benda dibagi menjadi qismah dan ghairu qismah.
Malul Qisma adalah harta benda yang dapat di bagi menjadi bebebrapa bagian dengan tidak menimbulkan kerusakan dan berkurangnya manfaat masing-masing bagian dibandingkan dengan sebelum dilakukan pembagian, seperti emas batangan, daging, kayu dan lain-lainnya. Sedangkan yang di maksud Ghairu Qismah adalah harta yang tidak dapat dilakukan pembagian sebagaimana Malul Qismah, seperti gelas, kursi dan perhiasan.
Perbedaan ini mengakibatkan konsekuensi hukum yaitu:
Pertama, penyelisihan terhadap Malul Qismah yang menjadi milik bersama diselesaikan oleh keputusan hakim melalui qismatut tafriq, yakni membagi benda menadji beberapa bagian yang terpisah.
Kedua, persekutuan terhadap Mal Ghairu Qismah yang belum di tentukan bagian masing-masing, maka pemilik bagian tersebut sah melimpahkan pemilikan tersebut kepada orang lain.
Ketiga, biaya perawatan terhadap Malul Qismah yang berupa harta yang tidak brgerak yanmg dimiliki secara berserikat yang dikeluarkan oleh oleh seorang pemilik tanpa sepengetahuan atau tanpa seizin pemilik lainnya berlaku sebagai pembiayaan sukarela yang tidak dapat dimintakkan ganti kepada pemilik lainnya.
9.      Dilihat dari segi peruntukannya harta di bagi menjadi:
Malul khas (harta pribadi), adalah harta benda yang dimiliki oleh pribadi seseorang dan orang lain terhalang untuk menguasainya dan memanfaatkannya tanpa seizing pemiliknya.
Malul ‘Amm(harta masyarakat umum), adalah harta benda yang menjadi milik masyarakat yang sejak semula di maksudkan untuk kemaslahatan dsan kepentingan umum.
Perbedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan beberapa jenis konsekuensi hukum sebagaimana berikut :
Pertama, Malul khas dapat ditasharrufkan oleh pemiliknya secara bebas melalui cara-cara perikatan yang di benarkan syara’, sedangkan Malul ‘Amm tidak dapat ditasharrufkan oleh pemiliknya secara bebas. Kedua, apabila seseorang menggunakan Malul ‘Amm tanpa kesepakatan pihak-pihak yang berwenang untuk kepentingan pribadi. Ketiga, Malul ‘Amm tidak dapat dibebaskan oleh pribadi kecuali demi atas nama kepentingan umum yang sangat besar.

C.    Sebab-sebab Kepemilikan Harta
      Menurut pandangan islam bahwa  Allah Yang Maha kuasa menciptakan semua yang ada dimuka bumi diperuntukkan bagi manusia. Atas seizin Allah SWT, Manusia memiliki kewenangan mempergunakan harta untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Pemilik hakiki atas harta adalah Allah SWT, manusia sebatas sebagai pengelola “pemilik obyektif”. Manusia diberikan ruang untuk menguasai dan melakukan tindakan hukum atasnya sesuai dengan yang digariskan sang Pemilik Hakiki, Allah SWT

     Sebagaimana di depan sudah di singgung, islam memandang bahwa Allah Yang Maha Kuasa menciptakan semuannya yang ada di muika bumi di peruntukkan bagi nmanusia . Atas seizing Allah SWT, Manusia mwmiliki kewenangan memepergunakan harta untuki memenuhi kebutuhan dankepentingannya.
      Namun demikian, atas kepemilihan obyektif ini seseorang, memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum atas harta. Beberapa sebab yang menjadikan manusia bisa melakukan tindakan hukum tersebut, diantara adalah :

1.Ikhraj al-mubahat; penguasaan terhadap harta yang belum dimiliki seseorang atau badan  hukum. Proses kepemilikan seperti ini dimungkinkan jika obyek benda belum ada hak kepemilikan atasnya, baik secara perorangan maupunbadab hukum termasuk oleh Negara. Seperti kayu dihutan belantara, atau hewan yang masih di udara. Seseorang boleh menguasai benda-benda tersebut. Dalam hal pertahanan, jenis ini sering disebut dengan istilah ihya’ al mawal (memfungsikan tanah tak bertuan) Untuk memiliki benda-benda mubhat diperlukan dua syarat yaitu:
a.       Benda mubhat belum diikhrazkan oleh orang lain. Misalnya seseorang mengumpulkan air dalam satu wadah, kemudian air tersebut dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut, sebab telah diikhrazkan oleh orang lain. 
b.      Adanya niat (maksud) memiliki. Maka seseorang memperoleh harta mubhat tanpa adanya niat, tidak termasuk ikhraz.  Misalnya, seorang pemburuh meletakkan jaringnya di sawah, kemudian terjerat burung-burung, bila pemburu  ini meletakkan jaringnya sekedar hanya untuk mengeringkan jaringnya maka ia tidak berhak memiliki burung-burung tersebut.

 2. Al- milkbial-Aqd; kepemilikan yang terjadi melalui suatu akad yang dilakukan dengan seseorang atau badab hukum, seperti dengan akad jual beli, hibah,waqaf dan lain-lain. Kepemilikan jenis ini selalu melibatkan pihak-pihak tertentu, sehingga keabsahan sebuah kepemilikan sangat tergantung dengan keberadaan masing-masing pihak. Di samping itu juga tergantung pada persyaratanyang terkait baik bagi subyek, obyek maupun sighat akadnya. Oleh ebab itu, kepeilikan jenis inilah yang paling banyak di bahas dalam fiqh muamalah.

3.Al-milk bi al-khalafiyah; kepemilikan yang terjadi dengan cara penggantian dari seorang kepada orang lain, seperti yang terjadi kepada kepemilikan yang disebabkan oleh pewarisan, maupun penggantian sesuatu dari suatu benda yang disebut tadlim atau ta’wid (ganti rugi). Kepemilikan jenis ini bersifat otomatis mempunyai hak milik terhadap harta waris secara otomatis mempunyai hak milik terhadap harta waris, jika sebab kewarisan tersebut telah terpenuhi.

4.Tawallud min al-mamluk, yakni hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang, baik hasil itu datang secara alami (seperti buah di kebun) atau melalui usaha pemiliknya (seperti hasil usaha sebagai pekerja atau keuntungan yang di peroleh seorang pedagang).
    Kepemilikan yang tidak disebabkan oleh alasan di atas, dipandang sebagai kepemilikan yang tidak syah. Syara’ tidak menginjinkan dengan kepemikiran selain dengan cara tersebut. Misalnya kepemikiran yang didapatkan dengan tidak mempertimbangkan aspek kerelaan masing-masing puhak. Kepemikiran yang di peroleh dengan cacra seperti ini melanggar salah satu prinsip sebab kepemikiran (al-milk bil aqd). Termasuk dalam kepemikiran yang melanggar sebab al-milk bi al-aqd adalah kepemilikan yang dilakukan dengan cara mencuri.

D.    Perubahan Status Kepemilikan Harta
Di samping ada beberapa sebab yang melatar belakangi munculnya kepemilikan, sehingga manusia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta benda yang ada di tangannya juga dimungkinkan munculnya hal-hal yang menjadi sebab berubahnya  status kepemilikan dadri milik pribadi ke milik umum atau sebaliknya atas sebab-sebab sebagai berikut,:
1.      Kehendak sendiri dari pemiliknya ; missal seseorang menyerahkan hartanya menjadi harta waqaf yang dapat dipergunakan untuk kepentingan umat. Maka, jika kehendak pemilik harta tersebut sudah diikrarkan, secara otomatis pemilik semula tidak lagi mempunyai hak milik atas harta tersebut. Dan kepemilikan berubah menjadi milik umum.
2.      Kehendak syara’i artinya berubahnya status tersebut dikarenakan alasan yang dibenarkan oleh syara’ . atau bahkan syara’ menghendakinya demi kemaslahtan yang lebih besar. Seperti kebutuhan umat yang mendesak untuk membuat jalan umum di atas tanah milik pribadi. Dalam hal ini penguasa bisa menarik tanah pribadi tersebut untuk kepentingan umum.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
           Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pemaparan materi di atas adalah:
1.      Pengertian harta secara etomologos dan terminologis bahwa harta merupakan contong atua berpaling dari tengah ke salah satu dan harta adalah segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan menjadikannya untuk condong menguasai, memelihara baik dalam bentuk materi maupun mafaat.
2.      Pembagian harta dan akibar hukumnya meliputi:
·         Macam-macam harta berdasarkan kebolehan manfaat. 
·         Pembagian harta berdasarkan jenisnya. 
·         Berdasarkan segi pemanfaatannya.
·         Berdasarkan status harta
·         Berdasarkan bisa dibagi atu tidaknya.
·         Berdasarkan segi berkembang tidaknya
3.      Sebab-sebab kepemilikan harta, diantarannya adalah:
·         Ihkraj al-mubahat
·         Al-milk bi al-Aqd
·         Al-milk bi al-Khalafiyah
·         Tawallud min al-mamluk
4.      Perubahan status jepemilikan harta sebagai berikut:
·         Kehendak sebdiri dari pemiliknya dan
·         Kehendak syara’

B.     KALIMAT PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga bermanfaat kepada pembaca dan dapat memberikan pemahaman kepada pemakalah.
Sekian dari kami, apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam hal penulisan makalah ini, kritikserta saran yang membangun sangat kami butuhkan dari anda. Dari kami, selaku pemakalah meminta maaf yang sebesar-besarnya dan atas perhatian saudara kami ucapkan terimakasih.


        
DAFTAR PUSTAKA
Mardani,fiqh muamalah ekonomi syariah,Jakarata kencana nada media grup 2012
M.yazid Afandi,fiqh muamalah,Yogyakarta  logung pustaka 2009
Drs.Sohari Sahrani,fiqh muamalah,Bogor Ghalia Indonesia 2011





No comments:

Post a Comment

Cerdik Edukasi

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PROSES ISLAMISASI DESA SUKAHURIP KEC. PAMARICAN KAB. CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT

  SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PROSES ISLAMISASI DESA SUKAHURIP KEC. PAMARICAN KAB. CIAMIS   PROVINSI JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN A....