BAB II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Harta
Harta atau mal jamaknya amwal, secara etimologis mempunyai
beberapa arti yaitu condong, cenderung, dan miring. Karena memang manusia
condong dan cenderung untuk memiliki harta. Ada juga
yang mengartikan al-mal dengan sesuatu yang menyenangkan mannusia dan mereka
menjaganya, baik dalam bentuk materi maupun manfaat. Ada juga yang mengartikan
dengan sesuatu yang dibutuhkan dan di peroleh manusia baik benda yang tanpak
seperti emas, perak, binatang, tumbuhan, maupun yang tidak tanpak, yakni
manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal. Oleh karena itu sesuatu
yang tidak di kuasai manusia tidak bisa dinamakan harta, seperti burung di
udara, ikan di air, pohon di hutan, dan barang tambang yang ada di bumi.
Adapun penegrtian harta secara terminologis,
yaitu sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu
akan memberikannya atau menyimpannya. Sesuatu yang tidak dapat disimpan tidak
bisa disebut harta.
Ulama’ Hanafi berpendapat bahwa
harta adalah segala sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan
ketika kebutuhan ( sesuatu yang dapat di miliki , disimpan dan dimanfaatkan).
Sementara itu menurut jumhur ulama’adalah bahwa bagi jumhur Ulama’ adalah harta
tidak saja bersifat materi, namun juga nilai manfaat yang terkandung di
dalamnya . sesuatu dikatan harta jika mengandung keduannya sekaligus. Ia
bersifat materi dan materi tersebut mempunyai manfaat.
Sedangkan bagi Ulama Mazhab
Hanafi, pengertian harta hanya menyangkut materi, sedangkan manfat termasuk ke
dalam pengertian hakmilik. Artinya, pembahasan tentang harta adalah pembahasan
tentang materi benda. Sedangkan manfaat tidak termasuk dalam pembahasan harta,
akan tetapi masuk dalam pembahasan hak milik.
Kedua pendapat ini memiliki
akibat, bahwa apabila seseorang mempergunakan harta orang lain secara ghasab. Menurut jumhar Ulama’ orang
tersebut dapat di tuntut ganti rugi. Karena manfaat dari harta tersebut telah
diambil oleh peng-ghasab di pandang
telah mengambil harta, karena telah mengambil manfaat dan manfaat di pandang
sebagai harta. Namun , bagi Mazhab hanafi sebaliknya.bahwa bagi peng-ghasab
tidak bisa di tuntut ganti rugi, sebab hakekatnya ia tedak sedang mengambil
harta. Peng-ghasab di pandang sebatas mengambil manfaatnya tidak mengambil
harta.
Dalam kasusu sewa menyawa; apabila seseorang menyewakan rumahnya kepada
orang lain, kemudian pemilik rumah wafat, maka kontrak sewa menyewa tyersebut
harus dibatalkan, dan rumah harus di serahkan kepada ahli warisnya, karena
manfaat tidak termasuk harta yang bisa diwariskan; sementara pendapat jumhur
menyatakan kontrak tersebut dapat berlangsung terus sampai masa kontak habis,
karena manfaat adalah harta yang dapat diwariskan.
Unsur-unsur Harta
Menurut ulama harta mempunyai
dua unsur, yaitu unsur ‘aniyah dan unsur ‘urf. Unsur ‘aniyah yaitu bahwa harta
itu ada wujudnya dalam keanyataan. Manfaat sebuah rumah di pelihara manusia
tidak diosebut harta, tetapi disebut hak milik atau hak.unsur ‘urf yaitu segala
sesuatu yang dipanndang harta olehsseluruh manusia atau sebagian manusia,
tidaklah manusia memelihara sesuatau kecuali menginginkan manfaatnya, baik
manfaat madiyah manfaat manakwiyah.
Fungsi Harta sesuai syariat islam adalah sebagai berikut:
1.
Kesempurnaan ibadah mahdhah, karena
ibadah memerlukan sarana,seperti kain dan mukena untuk menutup aurat.
2.
Memelihara dan meningkatkan keimanan
dan ketakwaan kepadaAllah SWT, karena kefakiran dapat membawa kepada kekufuran.
3.
Meneruskan estafet kehidupan, karena
Allah melarang meninggalkan generasi penerus yang lemah dalam bidang ekonomi.
4.
Menyelaraskan antara kehidupan dunia
dan akhirat.
5.
Bekal mencari dan mengembangkan
ilmu.
6.
Keharmonisan hidup bernegara dan
bermasyarakat, sehingga orang kaya dapat memberikanpekerjaan kepada orang
miskin.
B. Pembagian Harta Dan akibat hukumnya
Harta menurut hukum islam dibagi
menjadi beberapa bagian ditinjau dari beberapa segi masing-masing bagian
mempunyai ciri-ciri khusus dan hukum-hukum tersendiri.
1. Ditinjau dari segi ada tidaknya
perlindungan dan kedudukan keadaan dari syara’ atau ditinjau dari segi
diperbolehkannya atau tidak mengambil manfaatnya oleh syara’, dibagi menjadi
dua yaitu Al-Mutaqawwim (Benda Bernilai) dan Ghairu Mutaqawwim
(Benda tidak Bernilai).
Benda mutaqawwim merupakan
benda yang mempunyai nilai menurut syara dan dilindunginya, oleh karena itu
orang yang bukan pemiliknya dituntut mengganti dengan benda atau serupa apabila
merusakkannya. Contoh benda mutaqawwim yaitu uang, runah, tanah yang
dimiliki, dan sebagainya.
Benda ghairu mutaqawwim
merupakan benda yang dapat diambil manfaatnya, tetapi belum dikuasai (dengan
perbuatan) atau disimpan oleh seseorang, yakni benda-benda bebas (al-Mubahah)
atau benda-benda yang dikuasai atau disimpan, tetapi tidak diperbolehkan
mengambil manfaatnya oleh syara’ dalam keadaan biasa bukan terpaksa.
Berdasarkan pengertian tersebut emas
yang masih dalam tanah, binatang buruan dihutan belantara, ikan dilaut, dan
sebagainya meskipun halal bukan termasuk benda mutaqawwim karena belum
dikuasai atau diambil seseorang meskipun boleh diambil manfaatnya serta tidak
ada larangan untuk memilikinya. Benda-benda tersebut dipandang sebagai benda
bebas (al-mubahah) dan tidak ada perlindungan syara terhadapnya, oleh
karena itu apabila seseorang merusaknya tidak ada tuntutan untuk menggantinya.
Ada problem hukum yang perlu
diperhatikan, misalnya ketika terjadi jual beli
khamr oleh orang-orang non muslim yang berada di negeri Islam. Menurut
pendapat mazhab Syafi’iyah bahwa orang non muslim yang melakukan transaksi
khamr dinegeri Islam dilarang, karena
khamr adalah benda ghairu mutaqawwim bagi orang Islam, mereka yang
berada di negeri Islam harus tunduk dengan sistem yang berlaku di negeri Islam,
sehingga khamr harus dilenyapkan. Berbeda dengan pendapat mazhab hanafi,
orang-orang non muslim yang berada di negeri Islam boleh melakukan transaksi
khamr karena menurut keyakinan mereka khamr adalah harta bernilai. Untuk itu
maka negeri Islam harus menghormati keyakinan orang non muslim karena mereka
telah membayar pajak berupa jizyah pada negara Islam. Dan ketika Umar
bin Khattab sebagai khalifah beliau tidak melenyapkan khamr milik orang Yahudi,
hanya menarik pajak 10% dari hasil transaksi khamr dari mereka.
2. Ditinjau dari segi tetap tidaknya
suatu benda dari tempat asalnya, benda dibagi menjadi dua yaitu al-Uqar (benda
tetap) dan al-Manqul (benda bergerak).
Benda al-Uqar yaitu harta
yang tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, misalnya, tanah,
rumah atau dalam istilah hukum perdata barat disebut benda tetap.
Benda al-Manqul yaitu harta
yang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, seperti, kursi, meja,
sepeda, atau dalam istilah hukum perdata barat disebut dengan benda bergerak.
Akibat
hukum dari pembagian kedua benda tersebut (al-Uqar wa al-Manqul) adalah:
a.
Syuf’ah (pro-emption) atau hak
seseorang pembeli membeli lebih dahulu daripada orang lain tidak berlaku pada
benda yang dijual kecuali benda tetap, dan tidak berlaku syuf’ah jika
benda tersebut berupa benda bergerak.
b. Wakaf berlaku pada benda tetap
berdasarkan kesepakatan para fuqaha. Adapun untuk benda bergerak terdapat
perbedaan pendapat. Menurut pendapat Muhammad bin Hasan dari mazhab Hanafi,
bahwa wakaf harus dengan benda tetap, tidak boleh dengan benda bergerak,
kecuali berdasarkan pada asar yang shahih seperti mewakafkan kuda atau senjata
atau mewakafkan kitab.
c.
Penerima wasiat (al-washi)
terhadap harta yang ditahan (al-qashir), jika harta tersebut benda
tetap, maka si penerima wasiat tidak boleh menjualnya, kecuali untuk melunasi
hutang atau karena adanya unsur maslahah dan syara membolehkan.
d. Pemanfaatan oleh pembeli benda tetap
sebelum adanya penyerahan barang tersebut menurut Imam Abu Hanifah dan Abu
Yusuf dibolehkan. Sedang menurut Imam Syafi’i dan Muhammad, tidak boleh
memanfaatkan benda tetap yang telah dibeli sebelum adanya penyerahan bendanya.
Apabila bendanya dapat bergerak, para fuqaha sepakat tidak boleh memanfaatkan
benda yang dibeli sebelum ada penyerahan kepada pembeli, karena untuk menjaga
jangan sampai terjadi penyalahgunaan terhadap pemakaian benda bergerak
tersebut, sehingga prinsip menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada
menarik manfaat.
e.
Hak irtifaq hanya berhubungan
dengan benda tetap bukan benda bergerak.
3. Ditinjau dari segi ada atau tidak
adanya persamaan dalam dunia perdagangan, benda dibagi menjadi dua yaitu al-Mitsli
(benda persamaan) dan al-Qimi (benda tidak ada persamaan). Hukum perdata
membagi benda menjadi benda yang dapat diganti dan dengan benda yang tidak
dapat dibagi.
Malul Mitsli (Benda yang ada persamaannya) adalah
harta yang ada persamaan kesatuannya dapat berdiri sebagiannya ditempat
sebagian yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu diperhatikan (dinilai),
misalnya: beras C4, uang rupiah, uang dollar, dan lain-lain. Atau dengan
istilah: Harta yang mudah diperoleh persamaannya di pasar-pasar atau di mana
saja tanpa berlebih kurang.
Malul Qimi (Benda yang tidak ada persamaannya)
adalah harta atau benda yang berlebih kurang kesatuan-kesatuannya, karenanya
tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lain tanpa ada perbedaan,
misalnya: Rumah A tidak sama dengan rumah B, karena sama-sama jenis rumah,
tetapi rumah A kualitas bangunan dan ukurannya akan beda dengan rumah B. Atau
dengan istilah: Harta yang tidak diperoleh padanannya di pasar atau di tempat
lain, atau diperoleh akan tetapi dengan berlebih kurang dari nilai harganya.
Akibat hukum dari kedua pembagian
benda tersebut adalah:
a.
Apabila seseorang berhutang benda mitsli
atau merusakkannya, maka harus mengganti dengan benda yang semisal, sebaliknya
jika bendanya qimi, maka dzimah (tanggung jawab) membayarnya atau
mengembalikannya berupa harga barangnya bukan benda semisalnya.
b. Apabila benda tersebut milik bersama
(musyarakah), jika bendanya berupa mitsli, maka masing-masing
anggota sekutu bisa mengambil yang menjadi bagiannya tanpa menunggu izin dari
sekutu yang lain, lain halnya jika benda tersebut berupa qimi yang belum
dipisah-pisahkan satu sama lain, maka anggota pemilik sekutu harus menunggu
izin sekutu lain[1][9]
4. Ditinjau dari segi pemakaian yaitu
apakah dipakai sekali habis atau beberapa kali, benda dibagi menjadi dua yaitu al-Istihlaki
dan al-Isti’mali.
Al-Istihlaki yaitu suatu benda yang hanya dapat
dipakai sekali kemudian habis, seperti makanan, minuman, kayu bakar, kertas
tulis, dan sebagainya.
Benda-benda ini ada dua macam,
yaitu:
a.
Istihlaki Haqiqi (sebenarnya) ialah benda-benda yang
dipakai sekali benar-benar habis, seperti minuman, kayu bakar dan sebagainya.
b. Istihlaki Haquqi (menurut hukum) ialah benda-benda
yang dipergunakan sekali habis meskipun bendanya masih utuh seperti mata uang
yang dipergunakan untuk membayar utang dianggap habis meskipun benda-bendanya
masih utuh (ditangan yang lain) kertas tulis dianggap habis apabila telah
dipergunakan menulis.
Al-Isti’mali
yaitu benda-benda yang tidak habis atau musnah
dengan dipakai sekali tetapi dapat dipakai beberapa kali, menurut sifatnya
masing-masing, seperti kebun, tempat tidur, pakaian, dan lain sebagainya.
Akibat
hukum dari pembagian benda tersebut adalah terletak pada dapat tidaknya
benda-benda tersebut menerima akad:
a.
Benda Isti’mali tidak
menerima akad yang berlaku pada benda istihlaki dan sebaliknya, karena
akad dalam benda isti’mali ditujukan kepada manfaat bendanya, sedang
barangnya masih tetap utuh, akan tetapi akad dalam benda istihlaki memanfaatkan
bendanya harus dengan cara menghabiskan benda itu sendiri.
b. Benda Istihlaki berlaku untuk
akad qard (utang piutang uang), sedangkan benda isti’mali berlaku
untuk akad ijarah (sewa menyewa).
5. Ditinjau dari segi apakah benda
merupakan materi kongkrit dalam kekuasaan sendiri ataukah merupakan sesuatu
benda dalam tanggungan orang lain, benda dibagi menjadi dua yaitu al-Ain dan
ad-Dain.[2][12]
Malul ‘ain yaitu harta berupa barang yang
kelihatan. Misalnya: kuda, roti, rumah dll. Harta Ain dibagi menjadi dua bagian[3][13] :
a. Harta ‘ain dzati qimah yaitu benda
yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai. Harta
‘ain dzati qimah meliputi :
1. Benda yang dianggap harta yang boleh
diambil manfaatnya.
2. Benda yang dianggap harta yang tidak
boleh diambil manfaatnya.
3. Benda yang dianggap sebagai harta
yang ada sebangsanya.
4. Benda yang dianggap harta yang sulit
dicari sepadanya yang serupa.
5. Benda yang dianggap harta berharga
dan dapat dipindahkan (bergerak)
6. Benda yang dianggap harta berharga
dan tidak dapat dipisahkan (tetap)
b. Harta ‘ain ghayr dzati qimah yaitu
benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki nilai
atau harga, misalnya sebiji beras.
Malud Dain yaitu sesuatu yang berada dalam tanggung jawab. Maksudnya
Ialah kepemilikan atas suatu harta dimana harta masih berada dalam tanggung
jawab seseorang, artinya si pemilik hanya memiliki harta tersebut, namun ia
tidak memiliki wujudnya dikarenakan berada dalam tanggungan orang lain.
Misalnya sejumlah uang yang dihutangkan
6. Ditinjau dari segi apakah dapat atau
tidaknya dimiliki, benda dibagi menjadi Al Mulk, Al Mahjur, dan Al Mubah
Mal al mamluk Ialah sesuatu yang merupakan hak
milik baik milik perorangan maupun milik badan seperti pemerintah dan yayasan.
Harta mamluk terbagi menjadi dua macam, yaitu
1. Harta perorangan (mustaqih) yang
berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang dikontrakkan. Harta
perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seorang yang
mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
2. Harta pengkongsian antara dua
pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang
berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya
disewakan selama satu bula knepada orang lain.
Mal
Mubah yaitu
sesuatu yang pada asalnya bukan merupakan hak milik perseorangan seperti air
pada air mata, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di lautan dan
buah-buahannya. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan
kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya, sesuai dengan
kaidah : “Barang siapa yang membebaskan harta yang tidak bertuan, maka ia
menjadi pemiliknya”
Mal
Mahjur yaitu harta yang dilarang oleh syara’ untuk dimiliki sendiri dan
memberikannya kepada orang lain. Adakalanya harta tersebut berbentuk wakaf
ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya,
masjid-masjid, kuburan-kuburan, dan yang lainnya.
7. Ditinjau dari segi dari sumber
benda, benda dibagi menjadi Aa Ashl (harta pokok) dan Ats tsamarah (harta
hasil).
Harta pokok ialah harta yang memungkinkan darinya muncul
harta lain. Dan Harta hasil ialah harta yang muncul dari harta lain (harta
pokok)
Pokok harta juga bisa disebut modal,
misalnya uang, emas, dan yang lainnya, contoh harta pokok dan harta hasil ialah
bulu domba dihasilkan dari domba, maka domba merupakan harta pokok dan bulunya
merupakan harta hasil, atau kebau yang beranak, anaknya dianggap sebagai
tsamarah dan induknya yang melahirkan disebut harta pokok.
8. Ditinjau dari dapat tidaknya dibagi,
benda dibagi menjadi qismah dan ghairu qismah.
Malul Qisma adalah harta benda yang
dapat di bagi menjadi bebebrapa bagian dengan tidak menimbulkan kerusakan dan
berkurangnya manfaat masing-masing bagian dibandingkan dengan sebelum dilakukan
pembagian, seperti emas batangan, daging, kayu dan lain-lainnya. Sedangkan yang
di maksud Ghairu Qismah adalah harta yang tidak dapat dilakukan pembagian
sebagaimana Malul Qismah, seperti gelas, kursi dan perhiasan.
Perbedaan ini mengakibatkan
konsekuensi hukum yaitu:
Pertama, penyelisihan terhadap Malul
Qismah yang menjadi milik bersama diselesaikan oleh keputusan hakim melalui
qismatut tafriq, yakni membagi benda menadji beberapa bagian yang terpisah.
Kedua, persekutuan terhadap Mal
Ghairu Qismah yang belum di tentukan bagian masing-masing, maka pemilik bagian
tersebut sah melimpahkan pemilikan tersebut kepada orang lain.
Ketiga, biaya perawatan terhadap
Malul Qismah yang berupa harta yang tidak brgerak yanmg dimiliki secara
berserikat yang dikeluarkan oleh oleh seorang pemilik tanpa sepengetahuan atau
tanpa seizin pemilik lainnya berlaku sebagai pembiayaan sukarela yang tidak
dapat dimintakkan ganti kepada pemilik lainnya.
9. Dilihat dari segi peruntukannya
harta di bagi menjadi:
Malul khas (harta pribadi), adalah harta benda
yang dimiliki oleh pribadi seseorang dan orang lain terhalang untuk
menguasainya dan memanfaatkannya tanpa seizing pemiliknya.
Malul ‘Amm(harta masyarakat umum), adalah
harta benda yang menjadi milik masyarakat yang sejak semula di maksudkan untuk
kemaslahatan dsan kepentingan umum.
Perbedaan jenis harta seperti ini
mengakibatkan beberapa jenis konsekuensi hukum sebagaimana berikut :
Pertama, Malul khas dapat
ditasharrufkan oleh pemiliknya secara bebas melalui cara-cara perikatan yang di
benarkan syara’, sedangkan Malul ‘Amm tidak dapat ditasharrufkan oleh
pemiliknya secara bebas. Kedua, apabila seseorang menggunakan Malul ‘Amm tanpa
kesepakatan pihak-pihak yang berwenang untuk kepentingan pribadi. Ketiga, Malul
‘Amm tidak dapat dibebaskan oleh pribadi kecuali demi atas nama kepentingan
umum yang sangat besar.
C. Sebab-sebab Kepemilikan Harta
Menurut pandangan islam bahwa Allah Yang Maha kuasa menciptakan semua yang
ada dimuka bumi diperuntukkan bagi manusia. Atas seizin Allah SWT, Manusia
memiliki kewenangan mempergunakan harta untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya. Pemilik hakiki atas harta adalah Allah SWT, manusia sebatas
sebagai pengelola “pemilik obyektif”. Manusia diberikan ruang untuk menguasai
dan melakukan tindakan hukum atasnya sesuai dengan yang digariskan sang Pemilik
Hakiki, Allah SWT
Sebagaimana di depan sudah di
singgung, islam memandang bahwa Allah Yang Maha Kuasa menciptakan semuannya
yang ada di muika bumi di peruntukkan bagi nmanusia . Atas seizing Allah SWT,
Manusia mwmiliki kewenangan memepergunakan harta untuki memenuhi kebutuhan
dankepentingannya.
Namun demikian, atas
kepemilihan obyektif ini seseorang, memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum
atas harta. Beberapa sebab yang menjadikan manusia bisa melakukan tindakan
hukum tersebut, diantara adalah :
1.Ikhraj al-mubahat; penguasaan
terhadap harta yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum. Proses kepemilikan seperti ini
dimungkinkan jika obyek benda belum ada hak kepemilikan atasnya, baik secara
perorangan maupunbadab hukum termasuk oleh Negara. Seperti kayu dihutan
belantara, atau hewan yang masih di udara. Seseorang boleh menguasai
benda-benda tersebut. Dalam hal pertahanan, jenis ini sering disebut dengan
istilah ihya’ al mawal (memfungsikan tanah tak bertuan) Untuk memiliki benda-benda mubhat diperlukan dua syarat yaitu:
a.
Benda mubhat belum
diikhrazkan oleh orang lain. Misalnya seseorang mengumpulkan air dalam satu
wadah, kemudian air tersebut dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil
air tersebut, sebab telah diikhrazkan oleh orang lain. b. Adanya niat (maksud) memiliki. Maka seseorang memperoleh harta mubhat tanpa adanya niat, tidak termasuk ikhraz. Misalnya, seorang pemburuh meletakkan jaringnya di sawah, kemudian terjerat burung-burung, bila pemburu ini meletakkan jaringnya sekedar hanya untuk mengeringkan jaringnya maka ia tidak berhak memiliki burung-burung tersebut.
2. Al- milkbial-Aqd; kepemilikan yang terjadi
melalui suatu akad yang dilakukan dengan seseorang atau badab hukum, seperti
dengan akad jual beli, hibah,waqaf dan lain-lain. Kepemilikan jenis ini selalu
melibatkan pihak-pihak tertentu, sehingga keabsahan sebuah kepemilikan sangat tergantung
dengan keberadaan masing-masing pihak. Di samping itu juga tergantung pada
persyaratanyang terkait baik bagi subyek, obyek maupun sighat akadnya. Oleh
ebab itu, kepeilikan jenis inilah yang paling banyak di bahas dalam fiqh
muamalah.
3.Al-milk bi
al-khalafiyah; kepemilikan yang terjadi dengan cara penggantian dari seorang
kepada orang lain, seperti yang terjadi kepada kepemilikan yang disebabkan oleh
pewarisan, maupun penggantian sesuatu dari suatu benda yang disebut tadlim atau
ta’wid (ganti rugi). Kepemilikan jenis ini bersifat otomatis mempunyai hak milik
terhadap harta waris secara otomatis mempunyai hak milik terhadap harta waris,
jika sebab kewarisan tersebut telah terpenuhi.
4.Tawallud
min al-mamluk, yakni hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang, baik
hasil itu datang secara alami (seperti buah di kebun) atau melalui usaha
pemiliknya (seperti hasil usaha sebagai pekerja atau keuntungan yang di peroleh
seorang pedagang).
Kepemilikan yang tidak disebabkan oleh
alasan di atas, dipandang sebagai kepemilikan yang tidak syah. Syara’ tidak
menginjinkan dengan kepemikiran selain dengan cara tersebut. Misalnya
kepemikiran yang didapatkan dengan tidak mempertimbangkan aspek kerelaan
masing-masing puhak. Kepemikiran yang di peroleh dengan cacra seperti ini
melanggar salah satu prinsip sebab kepemikiran (al-milk bil aqd). Termasuk
dalam kepemikiran yang melanggar sebab al-milk bi al-aqd adalah kepemilikan
yang dilakukan dengan cara mencuri.
D. Perubahan Status Kepemilikan Harta
Di samping ada beberapa sebab yang melatar belakangi munculnya
kepemilikan, sehingga manusia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta
benda yang ada di tangannya juga dimungkinkan munculnya hal-hal yang menjadi
sebab berubahnya status kepemilikan dadri
milik pribadi ke milik umum atau sebaliknya atas sebab-sebab sebagai berikut,:
1.
Kehendak sendiri dari pemiliknya ;
missal seseorang menyerahkan hartanya menjadi harta waqaf yang dapat
dipergunakan untuk kepentingan umat. Maka, jika kehendak pemilik harta tersebut
sudah diikrarkan, secara otomatis pemilik semula tidak lagi mempunyai hak milik
atas harta tersebut. Dan kepemilikan berubah menjadi milik umum.
2.
Kehendak syara’i artinya berubahnya
status tersebut dikarenakan alasan yang dibenarkan oleh syara’ . atau bahkan
syara’ menghendakinya demi kemaslahtan yang lebih besar. Seperti kebutuhan umat
yang mendesak untuk membuat jalan umum di atas tanah milik pribadi. Dalam hal
ini penguasa bisa menarik tanah pribadi tersebut untuk kepentingan umum.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat
kita ambil dari pemaparan materi di atas adalah:
1.
Pengertian harta secara etomologos
dan terminologis bahwa harta merupakan contong atua berpaling dari tengah ke
salah satu dan harta adalah segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan
menjadikannya untuk condong menguasai, memelihara baik dalam bentuk materi
maupun mafaat.
2.
Pembagian harta dan akibar
hukumnya meliputi:
·
Macam-macam harta
berdasarkan kebolehan manfaat.
·
Pembagian harta berdasarkan
jenisnya.
·
Berdasarkan segi
pemanfaatannya.
·
Berdasarkan status harta
·
Berdasarkan bisa dibagi atu
tidaknya.
·
Berdasarkan segi berkembang
tidaknya
3.
Sebab-sebab kepemilikan
harta, diantarannya adalah:
·
Ihkraj al-mubahat
·
Al-milk bi al-Aqd
·
Al-milk bi al-Khalafiyah
·
Tawallud min al-mamluk
4.
Perubahan status
jepemilikan harta sebagai berikut:
·
Kehendak sebdiri dari
pemiliknya dan
·
Kehendak syara’
B.
KALIMAT PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga bermanfaat kepada pembaca dan
dapat memberikan pemahaman kepada pemakalah.
Sekian dari kami, apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam hal
penulisan makalah ini, kritikserta saran yang membangun sangat kami butuhkan
dari anda. Dari kami, selaku pemakalah meminta maaf yang sebesar-besarnya dan
atas perhatian saudara kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Mardani,fiqh muamalah ekonomi
syariah,Jakarata kencana nada media grup 2012
M.yazid Afandi,fiqh muamalah,Yogyakarta logung pustaka 2009
Drs.Sohari Sahrani,fiqh muamalah,Bogor
Ghalia Indonesia 2011
No comments:
Post a Comment