A.
PENDAHULUAN
Sebagaimana
ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan
tetap berpijak pada Al-Qur’an
dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya
sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat
Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum
syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw. Pada masa
tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang.
Apa
yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw, sahabat,
tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun
demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang
sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu
tersendiri. Untuk itulah kami membuat makalah ini agar para pembaca dapat
memahami lebih jauh lagi tentang ushul fiqh dan perkembangannya dimasa sekarang
ini.
Memahami sejarah ushul fiqh memiliki urgensi yang
signifikan bagi umat islam. Pengetahuan historis ilmu ini memberikan satu
kejelasan tentang kedudukanya dalam agama islam, sehingga dapat menghindarkan
umat islam dari salah penafsiran terhadap ketetapan hukumnya. Sesuai dengan
sifatnya, ilmu ini bersifat relatif, terbentuk karena adanya kepentingan
kondisional terkait dengan pelaksanaan ijtihad para ulama pada masanya. Dengan
demikian, ketetapan dan rumusanya bukan bersifat mutlak, tidak final, tetapi
memungkinkan terjadi perubahan, rekonstruksi, bahkan dekonstruksi.
B.
PEMBAHASAN
1. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
A. Fase Pertumbuhan
(610-632 M)
Pertumbuhan
ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah
SAW sampai pada masa tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada
abad ke-II H. Di zaman Rasulullah, sumber hukum Islam hanya dua, yaitu
Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadits). Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah
menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu
tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang
kemudian dikenal dengan hadits dan sunnah.
Ilmu ushul fiqh tumbuh
bersama dengan ilmu ushul fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukan terlebih dahulu
daripada ilmu ushul fiqh. Tumbuhnya ilmu fiqh tentu ada metode yang dipakai
untuk menggali ilmu tersebut. Metode ini tidak lain adalah ilmu ushul fiqh. Sebenarnya
keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah
ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada saat menghasilkan
fiqh-nya. Namun, dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan. Masa inilah
yang disebut fase pertumbuhan (610-632 M), yang dimulai sejak Nabi diangkat
menjadi Rasul sampai beliau wafat. Masa ini dibagi menjadi dua periode, yaitu
periode Mekah dan periode Madinah.
a.
Tasyri’ (proses perkembangan syariat) pada periode Mekah
Periode Mekah merupakan
masa pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan adalah
ayat-ayat akidah. Periode ini lebih terfokus pada proses penanaman (ghars) tata
nilai tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasul-Nya, hari kiamat, dan perintah
untuk berakhlak mulia, seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji, dan
manjauhi kerusakan akhlak, seperti zina, pembunuhan, dan penipuan. Beberapa
hukum syariat yang turun pada periode ini juga dimaksudkan untuk mewujudkan
revolusi akidah tadi. Dengan kata lain, periode Mekah merupakan periode
revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju
penghambaan kepada Allah semata. Suatu revolusi yang menghadirkan perubahan
fundamental, rekonstruksi sosial, dan moral pada seluruh dimensi kehidupan
masyarakat.
b.
Tasyri’ pada periode Madinah
Pada
periode ini, turun ayat-ayat yang menerangkan hukum-hukum syariah dari semua
persoalan yang dihadapi manusia, baik ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan
haji, atau muamalat, seperti aturan jual beli, masalah kekeluargaan,
kriminalitas, hingga persoalan-persolaan kriminalitas. Dengan kata lain,
periode Madinah dapat pula disebut periode revolusi sosial dan politik. Ada
tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses perkembangan syariah pada periode
ini, yaitu:
a. Metode Nabi Muhammd Saw
dalam menerangkan hukum. Dalam banyak hal, syariat Islam turun secara global.
Rasulullah sendiri tidak banyak menerangkan apakah perbuatannya itu wajib atau
sunnah, bagaimana syarat dan rukunnya, dan lain sebagainya. Ketika Rasulullah
Shalat misalnya, para sahabat melihat Nabi dan menirunya tanpa menanyakan
syarat dan rukunnya.
b. Kerangka hukum syariat.
Ada hukum yang disyariatkan untuk suatu persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat, seperti bolehkan berperang pada bulan haji (QS Ali Imran: 218)
termasuk masalah-masalah ibadah dan beberapa hal yang menyangkut muamalat.
c. Turunnya syaruat secara
bertahap atau periodic. Tahapan proses turunnya syariat ini berbentuk dua hal.
Pertama, tahapan dalam menetapkan kesatuan hukum Islam, seperti shalat disyariatkan
pada malam Isra’ Mi’raj (satu tahun sebelum hijriyah), azan pada tahun pertama
hijriyah, puasa, shalat ied, qurban, dan zakat pada tahun kedua, hukum waris
pada tahun ketiga dan seterusnya. Kedua, bahkan tahapan itu tidak sedikit
terjadi pada satu perbuatan. Misalnya, proses diharamkannya khamr. Bagi
masyarakat sebelum Islam, minum khamr adalah suatu kebanggaan, dan lambang
kehormatan. Dalam kondisi seperti ini akan sangat sulit untuk menghetikannya.
Oleh karena itu, pada mulanya Al-Qur’an mencantumkan suatu isyarat tersembunyi
tentang kejelekan khamr. “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman
yang memabukkan dan rezeki yang baik”. Satu isyarat bahwa khamr adalah rezeki
yang tidak baik. Kemudian “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.
Katakanlah: ‘pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaatnya.’
Ayat ini mengubah anggapan kaum muslimin yang mengira khamr sebagai suatu
kehormatan. Beberapa orang sudah meninggalkannya, tetapi ada juga yang masih
menyukainya, bahkan ada yang sempat mabuk ketika melakukan Shalat. Al-Qur’an
kembali menegaskan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Shalat
sedangakn kamu dalam keadaan mabuk.”
Pada saat kehidupan masyarakat
Madinah sudah mapan, yakni pada tahun keenam hijriyah, dengan tegas Allah
mengharamkan khamr dan menganggapnya sebagai “perbuatan keji yang termasuk
perbuatan setan,” Dan proses turunnya syariat secara periodik ini mengajarkan
sesuatu yang sangat penting, yaitu betapa pembentukan pondasi masyarakat yang
layak dan siap menerima Islam harus menjadi garapan utama dan pertama. Aisyah
ra juga pernah berkata: “Kalau saja yang pertama turun ‘jangan kamu minum
khamr’, maka mereka akan menjawab: ‘kami tidak akan meninggalkan khamr.”
Perlu
ditambahkan, bahwa antara periode Mekah dan Madinah terjadi hubungan integral
dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Mannaul Qathan,
dengan menyitir ahli hukum Syatibi, mengatakan bahwa apa yang turun di Madinah
tentu sudah turun di Mekah, paling tidak dalam bentuk pemahaman. Ibarat mata
rantai yang saling berkaitan, tasyri’ pada periode Mekah dan Madinah
mengajarkan suatu pelajaran yang amat penting tentang bagaimana cara
mengaintisipasi persoalan-persoalan baru yang bakal muncul.
Turunnya ayat Al-Qur’an selama 23 tahun
Ayat-ayat Al-Qur’an
yang diwahyukan kurang lebih selama 23 tahun, pada umumnya diturunkan untuk
hal-hal berikut.
1) Memecahkan
masalah yang dihadapi oleh Rasulullah dan umat Islam pada masanya. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang merupakan jawaban langsung
atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kaum Muslimin maupun kaum kafir.
Sebagai contoh QS. Al-Baqarah (2:217) merupakan jawaban atas pertanyaan tentang
hal-hal yang dilarang pada bulan haram, ayat 219 merupakan jawaban dari pertanyaan
tentang khamr dan judi, serta ayat 222 merupakan jawaban dari pertanyaan
tentang haid.
2) Berkaitan
dengan peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi selama era kenabian. Misalnya
surat An-Nur (24) ayat 6-9 adalah ayat yang turun terkait dengan kasus Hilal
Ibn Umayyah yang menuduh istrinya berzina tetapi tidak mampu menghadirkan empat
orang saksi.
3) Terjadi
pentahapan dalam penurunan ayat Al-Qur’an, metode ini dipandang efektif. Contoh
proses pelarangan riba dengan empat tahap.
Rasulullah
juga melakukan ijtihad dalam hal nash tidak ada. Dalam hal ini ada dua
kenyataan, yaitu:
a. Ijtihad
Rasulullah dikonfirmasi oleh wahyu. Contohnya, Rasulullah melarang seseorang
menikah dengan bibinya. Dan larangan ini kemudian ditegaskan oleh wahyu An-Nisa
ayat 24.
b. Ijtihad
Rasulullah dikoreksi wahyu. Contohnya, Rasulullah pernah memutuskan terjadinya
perceraian dengan dzihar (ungkapan suami yang menyamakan istri dengan ibu
kandung atau mahramnya, seperti adik atau kakak perempuannya) yang dilakukan
oleh Aus bin Shamit kepada istrinya Khalwah binti Tsa’labah. Keputusan ini
dikoreksi oleh surah Al-Mujadalah ayat 1-3, bahwa dzihar tidak bisa menyebabkan
terjadinya perceraian.
Metode legislasi Rasulullah
Rasulullah
tidak pernah membuat kategori hukum, baik taklifi maupun wadl’l. Dalam beberapa
hal, Rasulullah meletakkan aturan tertentu tanpa menyebut rinciannya, sehinggan
Rasulullah sangat menganjurkan para sahabat untuk menggunakan akalnya tatkala
mereka harus memutuskan masalah, sementara tidak menemukan rujukannya di dalam
Al-Qur’an maupun saat tidak bertemu dengan Rasulullah. Hal ini dapat dilihat
dari apresiasi Rasulullah bahwa seseorang yang memutuskan sebuah masalah, jika
ia benar akan mendapatkan dua pahala dan jika ia salah maka akan mendapatkan
satu pahala.
Rasulullah
sangat menghargai perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang telah berani
melakukan ijtihad. Misalnya, dalam kasus Bani Quraidzah, saat itu ada
sekelompok sahabat yang akan bepergian. Rasulullah berpesan agar melaksanakan
Shalat Ashar ketika sudah sampai di tempat yang dituju. Namun, ketika masih
dalam perjalanan, waktu Shalat Ashar telah tiba. Menyikapi hal tersebut,
sahabat berbeda pendapat. Ada yang Shalat di perjalanan dan ada yang Shalat
ketika sampai di tempat yang dituju. Peristiwa tersebut kemudian disampaikan
kepada Rasulullah, dan Beliau diam tidak menyalahkan salah satunya. Contoh
lainnya adalah ketika dua orang sahabat berada dalam suatu perjalanan. Saat itu
sudah tiba waktu Shalat Ashar, sedangkan di tempat mereka tidak ada air suci
yang dapat mereka gunakan untuk berwudhu, sehingga mereka memilih bertayammum
dan melaksanakan Shalat. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan mereka dan
di tengah perjalanan mereka menemukan air suci yang dapat digunakan untuk
berwudhu sedangkan waktu Shalat Ashar belum berkahir. Salah satu sahabat
memilih untuk berwudhu dan mengulang Shalatnya, sedangkan sahabat yang satunya
memilih untuk tidak mengulang Shalatnya. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah
dan beliau menjawab untuk sahabat yang tidak mengulang Shalatnya “Shalat mu
sudah mencukupi”, sedangkan untuk shaabat yang memilih berwudhu dan mengulang
Shalatnya, beliau berkata “Bagimu dua pahala”.
Rasulullah
mengajarkan prinsip musyawarah dalam memutuskan suatu masalah. Dalam
kasus-kasus individu, Rasulullah membiarkan perbedaan pendapat terjadi. Tetapi
dalam kasus-kasus yang menyangkut kepentingan umum, Rasulullah menganjurkan
musyawarah mufakat. Fenomena ini kelak dijadikan sebagai landasan ijma’.
Keadaan fiqh pada masa
ini
Pada periode pertama ini, keadaan fiqh memang
masih sederhana, berupa pengenalan terhadap hukum-hukum Islam dalam ruang dan
waktu tertentu. Beberapa masalah, peristiwa, situas, dan kondisi yang ditemui
Nabi dan para sahabat yang dirujukkan pada hukum-hukum Al-Qur’an akan sangat
mendukung pernyataan ini. Memang beberapa sahabat pernah mencoba mengangkat
permasalahan “fiqh praktis” ketika tidak bersama dengan Rasulullah, namun
selain karena jarang terjadi, juga intensitasnya sangat kecil. Para sahabat
sangat jarang menanyakan suatu ketentuan hukum sehingga banyak perbuatan yang
saat itu hanya diterima tanpa mendapat penjelasan. Karena itu, kita dapat
menyimpulkan bahwa pada periode pertama ini keadaan fiqh lebih merupakan
kerangka dasar untuk suatu perumusan lebih lanjut.
B.
Fase Perkembangan (632-661)
Kondisi objektif pada masa ini
a.
Merupakan fase sahabat,
yang dikenal dengan fase pembentukan fiqh.
Periode
ini bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir
ketika Mu’awiyah bin Abu Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada
periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera
dakwah Islam setelah wafatnya Nabi.
b.
Secara historis merupakan masa Khulafaurasyidin
Pada
periode ini, ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an
dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat dalam satu mushaf datang
daru Umar bin Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal
Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaiakan oleh Umar keapda
khalifah Abu Bakar, dimana pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut karena
hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada akhirnya Abu Bakar
menerima ide tersebut. Maka dari itu, beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam
pelepah-pelepah kurma, kulit binatang, tulang-tulang, dan yang dihafal oleh
para sahabat. Mushaf ini disimpan oleh Abu Bakar, kemudian setelah beliau
wafat, mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar dan setelah Umar wafat
disimpan pada Hafsah binti Umar. Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam
mushaf yang ada pada Hafsah kemudian menugaskan Zaid bin Tsabit untuk
memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah Islam, yaitu ke Madinah, Mekah,
Kufah, Basrah, dan Damaskus. Mushaf itulah yang sampai kepada kita sekarang.
Ayat-ayat
Al-Qur’an pada saat Nabi wafat telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar dan
belum disatukan. Nabi selalu meminta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang
menuliskan Hadits agar tidak bercampur dengan Al-Qur’an. Disamping itu,
Al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat, bahkan banyak sahabat yang
menghafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Akibat tidak tertulisnya dan tidak
terkumpulnya Hadits dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka ulama-ulama
pada periode selanjutnya harus meneliti keadaan perawi Hadits dari berbagai
segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadits serta muncul Ilmu Musthalah Hadits.
Akibat lainnya adalah timbulnya perbedaan dalam menanggapi suatu Hadits tertentu.
c.
Wilayah Islam sudah semakin meluas, meliputi Syiria, Yordania, Mesir, Iraq, dan
Persia.
d.
Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, menyebabkan terjadi perjumpaan
antara Islam dengan sistem, kultur, dan perilaku baru, dimana ketentuan hukum
spesifiknya tidak ditemukan dalam sumber hukum Islam yang ada.
e. Frekuensi
ijtihad bertambah.
Sebab-sebab munculnya ijtihad
Pada
masa ini, Islam telah menyebar luas, misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam, dan
Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai
adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan, dan ilmu pengetahuan.
Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar jazirah Arab ini memunculkan
berbagai masalah baru yang menuntut adanya kepastian hukum, sementara wahyu
sudah berhenti dan wafatnya Rasulullah Saw menjadikan umat Islam tidak bisa
bertanya langsung kepada beliau. Hal ini mendorong pertumbuhan fiqh Islam pada
periode-periode selanjutnya, bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat.
Seperti misalnya, kasis Usyur (bea
cukai barang-barang impor), kasus muallaf, dan lain-lain pada zaman Umar bin
Khattab. Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari
nash-nya di dalam Al-Qur’an. Apabila tidak ditemukan, dicari di dalam Hadits.
Dan apabila juga ditemukan, barulah berijtihad dengan bermusyawarah di antara
para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad jama’i. Apabila mereka bersepakat,
terjadilah imja sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan
seluruh umat secara formal.
Umar
bin Khattab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu musyawarah yang
bersifat umum dan yang bersifat khusus. Musyawarah yang bersifat khusus
beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Ansar, yang bertugas memusyawarahkan
masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun
musyawarah yang bersifat umum dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang
dikumpulkan di Masjid, apabila terdapat permasalahan yang sangat penting.
Walaupun demikian,
tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad para sahabat dalam masalah-masalah
yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan kemaslahatan
umum. Mereka menanyakan masalahanya kepada salah seorang sahabat Nabi dan
diberikan jawabannya. Para sahabat berijtihad dalam hal yang belum ada
nash-nya. Jadi, pada masa sahabat ini, sudah ada tiga sumber hukum, yaitu
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijtihad. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’I dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad
fardhi dalam hal-hal yang bersifat pribadi.
Beberapa kejadian ijtihad di masa sahaba
1) Abu Bakar menerapkan surah ke-50 dalam penyerangan ke Syiria, yaitu membiarkan
pendududk Kristen menjalankan hukum dan adatnya sendiri.
2) Umar bin Khattab mengeluarkan muallaf dari golongan mustahik, dengan alasan muallaf pada
masa Umar tidak perlu lagi diberi bagian zakat dan tidak memberlakukan hukuman potong
tangan bagi pencuri.
3) Umar banyak mempertimbangkan keputusan hukumnya dengan mempertimbangkan
maqashid syari’ah.
1) Abu Bakar menerapkan surah ke-50 dalam penyerangan ke Syiria, yaitu membiarkan
pendududk Kristen menjalankan hukum dan adatnya sendiri.
2) Umar bin Khattab mengeluarkan muallaf dari golongan mustahik, dengan alasan muallaf pada
masa Umar tidak perlu lagi diberi bagian zakat dan tidak memberlakukan hukuman potong
tangan bagi pencuri.
3) Umar banyak mempertimbangkan keputusan hukumnya dengan mempertimbangkan
maqashid syari’ah.
4) Ali bin Abi Thalib
menggunakan qiyas ketika memutuskan hukum peminum khamr, yaitu diqiyaskan
dengan hukuman pelaku qadzaf (menuduh zina).
Karakteristik fiqh sahabat
1) Bersifat realistis,
karena ketetapan fiqhnya berdasarkan pada problem-problem aktual yang terjadi.
Tidak ada ketetapan fiqh yang bersifat hipotesis atau rekaan semata, sehingga
bentuk fiqh pada masa ini disebut dengan fiqh
al-waqi’I (fiqh realisitk).
2) Bersifat terbuka,
karena tidak menerapkan prosedur-prosedur tertentu yang harus diikuti dalam
menetapkan aturan hukum. Para sahabat juga tidak membuat catatan atas ketetapan
hukum yang mereka hasilkan. Di samping itu, mereka menghargai kebebasan
pendapat yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3) Mengedepankan
musyawarah (ijmak) daripada menggunakan pendapat pribadi dalam penetapan hukum.
Hal ini dipraktekkan oleh para Khulafaurasyidin, sehingga memperkecil ruang
ikhtilaf maupun perpecahan di kalangan umat Islam. Meskipun demikian, para
sahabat tetap menghormati pendapat pribadi di antara mereka.
4) Bersifat kreatif, dalam
arti melakukan modifikasi terhadap aturan hukum sebelumnya. Alasan modifikasi
ini adalah tiadanya illat bagi
keberadaan hukum tersebut atau adanya perubahan kondisi sosial. Contoh dalam
kasus ini adalah ijtihad Umar bin Khattab yang melarang pendistribusian zakat
bagi muallaf adalah untuk mendapatkan dukungan, namun pada masa Umar dukungan
muallaf tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi mengingat eksistensi umat Islam
sudah kuat. Contoh kedua terkait dengan penetapan talaq tiga. Pada masa
Rasulullah, pernyataan tiga kali talaq dalam satu kesempatan dianggap sebagai
satu kali pernyataan talaq, namun khalifah Umar menetapkan bahwa talaq tiga
kali tersebut dianggap jatuh talaq tiga.
5) Khalifah sentris, yaitu
keputusan akhir yang melibatkan ijmak dan ijtihad berada di tangan khlaifah.
Namun, keputusan khalifah sebelumnya tidak mengikat bagi khalifah sesudahnya.
Khalifah pengganti dapat mengubah aturan hukum dari khalifah sebelumnya.
Contohnya, khalifah Ali mengubah hukuman bagi peminum khamr. Khalifah Abu Bakar
dan Umar mengubah hukuman bagi peminum khamr dengan 40 kali cambuk, sedangkan
Khalifah Ali menambah hukuman tersebut menjadi 80 kali cambuk.
Sejarah
hukum Islam pada masa Khulafaurasyidin secara periodic terbagi menjadi 4, yaitu
periode Abu Bakar, periode Umar bin Khattab, periode Usman bin Affan, dan
periode Ali bin Abi Thalib. Yang perlu digaris bawahi dalam pemahaman mengenai
tasyri’ pada masa ini adalah meskipun disebut periode Khulafaurasyidin, namun
dalam prakteknya para mujtahid hukum bukan hanya para Amirul Mukminin yang 4 saja,
akan tetapi seluruh kibarus sahabat yang hidup pada masa ini juga sering
berijtihad terhadap permasalahan yang dirasa aktual dan dibutuhkan di antara
umat Islam.
Dalam hal permasalahan hukum itu telah
ada hukumnya dalam nash Al-Qur’an, maka digunakan hukum yang didapat dari nash
tersebut. Dan bila hukum permasalahan itu tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, maka
mereka mencari hukumnya di dalam Hadits. Namun karena Hadits belum dibukukan,
maka sering terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu persoalan yang sama
tetapi menghasilkan produk hukum yang berbeda, tergantung kapasitas Hadits yang
dimiliki masing-masing sahabat. Untuk menghadapi masalah ini, para sahabat
seringkali berdiskusi untuk saling bertukar wawasan tentang Hadits yang mereka
hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan
Hadits, maka mereka berijtihad dengan menggunakan ra’yu mereka sendiri-sendiri,
yang kemudian terciptalah Qiyas, penggalihan illat hukum, ijma’, hingga
akhirnya pada tahap penelusuran substansi syari’at dengan menggunakan metode
maslahah, yaitu mencari hal yang maslahat bagi manusia secara umum.
C.
Fase Formulasi dan Sistematisasi (661-950 M)
Secara
politik, masa ini merupakan masa pemerintahan dinasti Umayyah dan dinasti
Abbasyiah. Masa ini wilayah kekuasaan islam sudah meluas sampai diseluruh
jaziarah Arab. Secara geografis, kota intelektual saat itu terbagi menjadi tiga
kota, Iraq (terdiri dari kuffah dan basrah), Hijaz (meliputi Makkah dan
Madinah), dan Syiria. Iraq
dan Hijaz memiliki pengaruh besar terhadap
pembenttukan fiqih dan ushul fiqih.
Ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat
ijtihad yang tinggi di kalangan ulama,
sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu
pengetahuan berkembang. Perkembangan peemikiran ini tidak hanya pada bidang
ilmu agama akan tetapi dalam bidanh ilmi pengetahuan umum lainya.
Masa
dinasti Abbasiyah menggantikan dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang
kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar sehingga perkembangan ilmu
pengetahuan di berbagai bidang sangat pesat. Pada masa dinasti Abbasiyah lah masa kejayaan intelektual yang hebat dalam sejarah islam. Puncak
keemasaan ilmu pengetahuan terjadi pada masa kepemimpinan khalifah Harun
ar-Rasyid. Perhatian khusus para khalifah terhadap para fuqaha dan mendorong
mereka untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna mengahadapi
persoalan sosial dimasyarakat yang
begitu komplesk. Perhatian penguasa Abbasiyah terhadap fiqih misalnya pada
pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid yang meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk
menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan, dan
pertanahan. Imam Abu Yusuf meemnuhi
permintaan khalifah dengan menyusun buku
yang berjusul al-Kharaj. Kemudian pada masa
khalifaj Abu Ja’far al- Mansyur, ia juga meminta kepada Imam Malik untuk
menulis sebuah buku kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintahan
dan lembaga peradilan. Atas
dasar inilah Imam malik menyusun kitab nya yang berjudul al-Muwaththa’
Pada periode ini juga terjadi
pertentangan antara ahl al-Hadits dan
ahl ra’yi, sehingga menimbulkan semangat ijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha
melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya
madzhab-madzhab fiqih, yatitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Upaya ijtihad ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis saja pada
masa itu, melainkan juga membahas tentang persoalan-persoalan yang munkin akan
terjadi yang dikenal dengan istilah fiqih taqdiri (fiqih hipotesis).
Dua Aliran besar di Kalangan Mujtahid
a. Madrasah
ahl ra’yi
1) Berpusat
di kuffah.
2) Banyak
merujuk fatwa-fatwa dari sahavat Abdullah Ibn Mas’’ud dan Ali Ibn Abi Thalib.
3) Berprinsip
bahwa nash telah terbatas sementara kejadian terus muncul.
4) Peristiwa
yang tidak ada nash nya harus dilakukan ijtihad dengan ra’yu.
5) Hukum
syara’ selalu mengandung illat tertentu dan tujuan tertentu pula.
6) Produk
fiqh banyak yang bersifat hipotesis, dan terkadang menciptakaun problem-problem
yang fiktif.
7) Tugas
ulama adalah menemukan illat tersebut dan mengaplikasikanya dalam peristiwa
yang dihadapi.
8) Tokoh
madrasah ahl ra’yu adalah Abu Hanifah.
b. Madrasah
ahl al- Hadits
1) Berpusat
di Hijaz, dengan tokohnya Said Musayyab al- Makhzumi
2) Banyak
merujuk pada fatwa-fatwa dari sahabtat Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Umar,
Aisyah binti Abu Bakar
3) Fiqih
yang dihasilkan bersifat praktis, berdasarkan problem-problem aktual
4) Para
tokohnya, Malik Ibn Anas, Muhammad Ibn Idris, Ahmad Ibn Hanbal, Daud Az-Zahiri
Perbedaan
antara madrasah ahl ra’yi dan ahl al- hadits
1) Ahl
ra’yi lebih dominan penggunaan akalnya, sebab kuffah adalah wilayah
metropolitan, sehingga masalah-masalah di kuffah lebih kompleks sementara
sedikit sahabat yang ada disana, dan itu berarti lebih sedikit jumlah hadis
yang beredar.
2) Ahl
al-hadits lebih dominan penggunaan hadits dikarenakan banyak sahabat yang hidup
di Hijaz. Di samping itu, masyarakat hijaz lebih tradisional dan
masalah-masalah yang ada disana tidal kompleks.
Pertentang antar kedua
aliran diatas baru
mereda setelah murid-murid kelompok ahl ra’yi berupaya membatasi,
mensistematisasi dan menyususn kaidah ra’yu yang dapat digunakan untuk
mengistinbatkan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahl al-hadits dapat
menerima pengertian ra’yu yang dimaksudkan ahl ra’yi sekaligus menerima ra’yu
sebagai salah satu cara dalam mengistinbatkan hukum. Upaya pendekan lainya yang
dilakukan untuk
meredakan ketengangan tersebut juga dilakukan oleh ukama masing-masing madzhab.
Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedjaz untuk mempelajari kitab
al-Muwaththa’ yang merupakan salah satu kitab ahl al-hadits. Sementara itu,
Imam asy-Syafi’i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Di samping tu, Imam Abu
Yusuf juga berupaya mencari Hadits yang dapat mendukung fiqh ahl ra’yi. Atas
dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas
hadits dan ra’yu.
Pada
masa ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan ushul fiqh.
Diantara kitab- lkitab tersebut akan dijelaskan dibawah ini.
1) Kitab
al-Muwaththa karya Imam Malik yang berisi tentang prinsip dasar fiqh
2) Al-um
karya Imam asy-Syafi’i yang berfokus pada aplikasi prinsip-prinsip fiqh dengan
sedikit referensi hadits
3) Zahir
ar-Riwayah dan an-Nawadir karya Imam asy-Syabani
4) Dan
kitab ynag pertama muncul adalah ar-Risalah karya Imam asy-Syafi’i
D.
Fase Stagnasi (950 sampai akhir abad ke-19 M)
Periode
ini dikenal dengan periode kemandekan
dan kemunduran. Hampir tidak ada lagi fatwa baru dikalangan ulama.
Ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad
dikangan ulama. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah
dilakukan oleh imam madzhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqil
(mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada mujtahid yang berijtuhad, maka
ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip madzhab yang mereka
anut. Artinya Ulama fiqh tersebut hanya
berstatus sebagai mujtahid fi al-madzhabi (mujtahid yang melakukan ijtihad
berdasarkan prinsip yang ada pada dalam madzhabnya). Akibat dari tidak adanya
ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, munculah sikap
at-ta'assub al-madzhabi (sikap fanatik buta terhadap satu madzhab) sehingga,
setiap ulama berusaha untuk mempertahankan madzhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqo
mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa
pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang
mendorong munculnya pernyataan tersebut.
1. Dorongan
para penguasa kepada para hakim (qodi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan
dengan merujuk pada salah satu madzhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
2. Munculnya
sikap at-ta'assub al-madzhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan
berfikir) dan taklid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid
imam madzhab.
3. Munculnya
gerakan pembukuan pendapat masing-masing madzhab yang memudahkan orang untuk
memilih pendapat madzhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi
masing-masing madzhab, sehingga aktifitas ijtihad terhenti. Ulama madzhab tidak
perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka,
tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada
kitab madzhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid terhadap madzhab tertentu
yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram
melakukan talfiq.
Persaingan
antara pengikut madzhab semakin tajam, sehingga subjektivitas madzhab lebih
menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap
ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukan oleh masing-masing marzhab,
kareblna sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam madzhab tidak
menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang
dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat
yang ada dalam madzhab masing-masing.
Faktor-faktor
yang menyebabkan
stagnasi dan kemunduran
1. Runtuhnya
dinasti Abbasiyah yang memiliki concern dalam pengembangan fiqh internal umat
islam terjadi pergolakan politik, umat islam teropecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil
sehingga, perhatian terhadap ilmu pengetahuan mengecil.
2. Negara-negara
islam berada dalam genggaman kolonialisme.
3. Madzhab
fiqh sudah terbentuk sempurna dan karya fiqh dianggap manpu menyelesaikan
berbagai persoalan.
4. Pengaruh
ajaran sufisme yang ekstrim dengan menyampingkan urusan duniawi.
5. Wilayah-wilayah
pecahan Abbasiyah memiliki madzhab tertentu. Mesir menganut madzhab syafi'i,
Andalusia menganut madzhab Maliki, Turki dan India menganut madzhab Hanafi.
6. Pintu
ijtihad telah tertutup.
7. Kebangkitan
Barat.
Akhir
masa ini lahirlah para Imam yang berupaya melakukan pembaharuan. Para
pembaharuan ini melawan taqlid dan mengaktifkan ijtihad. Diantara ulama
pembaharu, Ahmad Ibn Taymiyah (1263-1328), Syah Waliyullah al-Dihlawi
(1703-1762), Muhammad Ali asy-Syaukani (1757-1853).
E. Fase kebangkitan (Akhir abad ke-19 sampai sekarang)
Kebangkitan fiqh dan ushul fiqh berkaitan dengan kebangkitan umat
Islam di bidang politik. Di beberapa wilayah umat islam mulai berusaha
melepaskan diri dari kolonialisme. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu:
1.
Munculnya
kesadaran diri umat Islam akan kekalahannya dari Eropa
2.
Keinginan
untuk belajar kepada Eropa sehingga menimbulkan ide-ide pembaharuan
3.
Upaya
memurnikan ajaran Islam dari pengaruh bid’ah dan khufarat, dan
4.
Ketertinggalan
dalam bidang ilmu pengetahuan dari Barat menyadarkan umat Islam untuk
menghidupkan semangat ilmu pengetahuan.
Secara umum sikap Islam terhadap kemajuan Barat dapat dibagi
menjadi dua: pertama, Zealotisme, yaitu menutup diri secara introvert
kepada praktek Islam masa lalu. Sikap ini menimbulkan adanya gerakan pemurnian
Islam (puritanisme), seperti adanya gerakan Wahabiyah, yang dipimpin
oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di Arabia. Kedua, Herodianisme yaitu
membuka pintu secara selektif terhadap pengaruh Barat, mengambil yang baik dan
menolak yang buruk. Sikap ini berdampak pada munculnya gerakan-gerakan pembaharuan
dalam dunia Islam. Gerakan pembaharuan yang muncul pada saat itu adalah:
1.
Pan-Islamisme, dipimpin oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) dengan tujuan: (1)
menggalang persatuan umat Islam sedunia; (2) membangkitkan semangat lokal
negeri-negeri Islam untuk melepaskan diri dari penjajah.
2.
Nasionalisme, dipimpin oleh At-Tahawi (1801-1873) di Mesir, dengan pemikiran:
Negara Islam akan maju jika di bawah penguasa sendiri dan bukan dijajah bangsa
asing.
3.
Hizbul
Wathan, dipimpin oleh
Mustafa Kamil di Mesir. Gerakan ini mengakibatkan terjadinya Revolusi Mesir
pada 23 Juli 1952, dan mengakibatkan terbentuknya Republik Mesir pada 18 Juni
1953 dengan presidennya Mayor Jendral Naguib.
Beberapa tokoh
yang dianggap sebagai pembaharu yang menjadi tanda awal kebangkitan Islam,
sebagai berikut. Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935
M), Hasan al-Bana (w. 1949 M), Abul A’la Al-Maududi (1903-1979 M), dan
lain-lain. Para pembaharu ini berusaha mengembalikan watak asli fiqh yang
dinamis, meskipun tidak sepenuhnya memberantas fanatisme Mazhab.
Di bidang fiqh ushul fiqh mulai ada upaya untk mempelajari karya
ulama sebelumnya. Seleksi kitab- kitab fiqh ini dilakukan untuk mwmilih mana
yang paling valid dan membandingkan dengan hukum positif. Kebangkitan lain
adalah adanya upaya mengkodifikasikan fiqh menjadi qanun
(undang-undang). Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Kekhalifahan Turki
Usmani. Kodifikasi hukun ini bernama Majallah al-Ahkam al-‘Adillah (Kitab
Undang-Undang Keadilan) yang selesai tahun1876 M. kandungan materi
undang-undang ini mengacu pada mazhab Hanafi.
2. Aliran-Aliran Dalam Ushul Fiqh
Sejarah
perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak berhenti, melainkan
berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang
saat ini dikenal. Masing-masing aliran memiliki cara pandang yang
berbeda dalam menyusun dan membangun teori yang terdapat dalam ushul fiqih. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua,
yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) yang cenderung
deduktif dan tekstual dan aliran fuqaha (Aliran
Hanafiyah) yang menekankan induktif dan kontekstual. Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama
tersebut diuraikan sebagai berikut:
a.
Aliran Mutakallimin
Aliran ini juga di sebut dengan Thariqah Syafi’iyah. Aliran ini juga disebut dengan thariqah Syafi'iyah. Pendekatannya bersifat
doktriner-normatif-deduktif. Menurut aliran ini secara doktriner normatif
setiap muslim harus mendasarkan aktivitas hidupnya pada Al-Qur’an dan hadis.
Kedua sumber hukum tersebut dianggap sebagai norma pengatur tertinggi yang
memuat segala aturan kehidupan manusia. Aliran ini berusaha meletakkan
aturan-aturan penafsiran yang mengikat para ulama untuk mengikutinya. Aliran
ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran
ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi
masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut
sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai.
Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah. Aliran Mutakakallimin lebih berorienntasi kepada
hal-hal berikut, yakni :
1.
Analisis
kasus-kasus.
2.
Formulasi
kaidah-kaidah hukum (al-qawa’id)
3.
Aplikasi qiyas yang
disertai penalaran rasio sejauh mungkin
4.
Mengkonstruksi
isu-isu fundamental teori hukum tanpa terikat dengan fakta hukum yang kasuistis
dan pikiran hukum madzhab fiqh yang ada.
Ciri
aliran ini terlihat dari pendekatannya yang teoritis. Penafsirannya bernuansa
atas-bawah, dimulai dengan mengutip ayat kemudian dijelaskan arti dan maksudnya
serta ilustrasi lain yang terkait. Penafsiran yang bersifat top-down ini diperkuat dengan penggunaan
kaidah-kaidah kebahasaan yang rumit. Hasil penafsiran dari ayat tersebut
dijadikan dasar untuk membangun atau merumuskan kaidah ushuliyah maupun fiqhiyah.
Kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah,
adalah kaidah-kaidah yang digunakan ulama Ushul berdasarkan makna dan tujuan nas
menurut kaidah-kaidah kebahasaan Arab. Kaidah-kaidah ini dirumuskan oleh para
ulama Ushul sebagai dasar istinbath hukum dari Nash Al-qur’an maupun hadis.
Kaidah ushuliyah ini berkaitan dengan
Amar, nahi, ‘am, khas, mutlaq, muqayyad,
dan sebagainya.
Kaidah fiqhiyah adalah hukum-hukum yang berkaitan asas hukum yang dibangun
oleh Syar’i serta tujuan setiap tujuan-tujuan yang dimaksud dalam
pensyari’atanya. Kaidah ini disebut juga dengan kaidah syar’iyah yang berfungsi
memudahkan mujtahid mengistimbatkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara
dan kemaslahatan manusia. Pembahasan kaidah ini meliputi lima asas, yaitu:
1. segala
masalah tergantung pada tujuannya,
2. kemudharatan
itu harus dihilangkan,
3. kebiasaan
itu dapat dijadikan hukum,
4. yakin
itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan, dan
5. kesulitan
itu dapat menarik kemudahan.
Kaidah
ushuliyah maupun fiqhiyah ini di gali dari nash di teoritiskan menggunakan hukum
logika yang digunakan untuk mempermudah penemuan hakikat syara’, sehingga
memiliki kegunaan praktis untuk menjustifikasi masalah tanpa harus merujuk
langsung pada nashnya. Aliran ini berusaha menjadikan usul fiqh sebagai teori yang
independen, yang dapat diaplikasikan terhadap segala persoalan dan tidak
terfokus pada masalah fiqh saja. Tokoh dari aliran ini antara lain: Syafi'iyah,
Malikiyah, Hanabilah dan Jumhur mutakallimin. Kitab Ushul fiqih yang disusun
menggunakan pendekatan ini adalah:
1.
Ar-risalah karya As-Syafi’i
2.
Al-Mushtashyfa Karya
Muhammad al-Ghazali
3.
Al-Mu’tamad karya Abu
Al-Husein Muhammad bin Ali al-Basri
4.
Al-Burhan Fi Ushul
al-Fiqh karya Imam al-Haramayn al-Juwaini
5.
Jam’u al-jawami karya
Tajudin Abd al-wahhab al-subkhi Al Syafi'i.
b.
Aliran
Fuqaha
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang
dianut oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena
dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam
merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu
Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan
contoh-contoh.
Nama
lain aliran ini adalah thariqah Hanafiyah yang dinisbahkan kepada tokoh
utamanya, yaitu ulama-ulama yang bernaung di bawah mazhab Hanafi. Dasar
pemikirannya adalah bahwa Al-Qur’an dan hadis memang mengandung kebenaran
mutlak namun pemahaman terhadap Nash adalah relatif sesuai dengan sifat relatif
manusia. Pendekatannya bersifat kontekstual yang bertumpu pada empiris-historis-induktif.
Analisis
induktif diwujudkan dengan selalu melihat realitas sosial yang berkembang. Permasalahan
yang ada dalam masyarakat dilihat sebagai fenomena yang menjadi dasar pertimbangan
penetapan hukum. Teori ini bersifat pragmatis yaitu diformulasikan untuk dapat
diaplikasikan terhadap kasus yang relevan. Penekanan terhadap permasalahan
menghasilkan sikap kompromi manakala terjadi pertentangan dengan kaidah atau
zhahir Nash. Prinsip istihsan merupakan teori yang dirumuskan berdasarkan pola
pikir aliran ini.
Teori
atau kaidah yang dibangun oleh aliran ini didasarkan pada analisis masalah-masalah
aktual yang terjadi. Jika terjadi pertentangan antara kaidah yang dibangun
dengan masalah yang muncul, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan
masalah. Berbeda dengan thariqah
mutakallimin aliran ini berusaha menghubungkan usul Fiqh sedekat mungkin
dengan fiqh. Ushul fiqh adalah teori untuk menghasilkan fiqh sehingga
prinsip-prinsipnya disesuaikan dengan kebutuhan fiqh. Disamping itu, aliran ini
menganalisa karya ulama terkenal dan mengidentifikasi metodologi yang dipakai.
Kitab Ushul fiqih yang disusun dengan pendekatan ini antara lain.
1. Kitab
al-Ushul karya Abu Bakar al-Jashshash.
2. Kitab
al-Ushul karya Abu Hasan al-kharki
3. Ta’sis
an-Nazar karya Abu Zaid al-Dabusy
4. Kasyf
al-Asror karya Imam Al-bazdawi.
c.
Aliran Muta’akhirin
Aliran Metode ini merupakan gabungan antara
Metode Mutakallimin dan metode fuqaha. Metode yang
ditempuh ialah dengan cara mengombinasi kedua aliran tersebut. Mereka memerhatikan kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-dalil atas
kaidah ini juga memerhatikan penerapannya terhadap masalah fikih far’iyah dan
relevansinya dengan kaidah-kaidah
tersebut. Pemikiran yang diterapkan pada aliran ini adalah dalam abad-abad itu muncul pula para ulama yang dalam
pembahasannya memadukan antara dua aliran tersebut, yakni dalam menetapkan
kaidah,memperhatikan alasan-alasannya yang kuat dan memperhatikan pula
persesuaiannya dengan hukum-hukum furu‘.
Para ulama’
yang menggunakan aliran muta’akhirin ini berasal dari kalangan Syafi’iayah dan
Hanafiyah. Aliran ini muncul setelah aliran Syafi’iyah dan Hanafiyah sehingga
disebut sebagai aliran muta’akhirin. Kitab-kitab
ushul yang menggabungkan kedua teori :
1. At-tahrir
disusun oleh kalam Ad-din Ibnu Al-Humam Al-Hanafi.
2. Tanqih
al-ushul ,disusun oleh Shadr Asy-Syari’ah .
3. Jam’u
Al-Jawami , disusun oleh Taj Ad-din Abdul Al-Wahab As-Subki Asy-Syafi’i.
4.
Musallam Ats-tsubut, disusun oleh
Muhibullah Ibnu Abd. Al- Syakur.
3. Perbedaan Antara Aliran-Aliran Ushul Fikih
Untuk mengetahui lebih jelas dan mengenai perbedaan aliran
mutakallimin dengan aliran fuqaha, dapat dikaji melalui perbandingan yang dapat
dilihat pada tiga hal:
1.
Formulasi kaidah (al-Ta’sis)
Dalam memformulasikan kaidah ushul,
mutakallimin berpegang pada pemahaman ushlub bahasa, dalil-dalil syara’ dan dalil
akal.Sedangkan golongan fuqaha kaidah ushulnya, diangkat dari
fatwa-fatwa ulama dengan jalan mengaitkan antara masalah-masalah furu’ dengan
kaidah-kaidah ushulnya.
2.
Metodologi (al-Manhaj)
Dari segi metode aliran mutakallimin
mempergunakan metode teoritis deduktif, dimana teori itu dijadikan istinbath
hukum.Sementara itu, metode aliran fuqaha adalah metode aliran praktis (amali)
yang berasal dari hasil penelitian hukum-hukum furu.Dengan demikia, jelaslah
perbedaan antara dua aliran ini.Sebab, ushul mutkallimin adalah merupakan
aturan-aturan istinbath (qawanin istinbath) yang bersifat menetapkan, sedangkan
ushul fiqih fuqaha bersifat ditetapkan oleh furu’, bukan menetapkan furu’.
3.
Aspek Pemikiran (al-Tafkir)
Aliran mutakallimin, dalam
sistematika pembahasannya, memulai pembahasan yang bersifat kebahasaan,
kemudian pembahasaan yang berhubungan dengan ilmu manthiq.Terakhir, pembahasaan
yang berhubungan dengan dalil-dalil syara’.Sistematika semacam ini telah
ditempuh oleh Al-Ghazali. Sedangkan aliran fuqaha memulai
dengan mengungkapkan dalil-dalil syara’, cara mengeluarkan hukum dari
dalil-dalinya (thuruq al-istismar), pemahaman tentang
persyaratan ijtihad dan terakhir tentang kedudukan mujtahid dalam ijtihad manusia.
Cara ini ditempuh oleh Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
C.
PENUTUP
Secara
garis besar, perkembangan fiqh dan ushul fiqh terbagi menjadi 5 fase, yaitu
fase pertumbuhan (610-632 M), fase perkembangan (632-661 M), fase formulasi dan
sistematisasi (661-950 M), fase stagnasi (950 sampai akhir abad ke-19 M), dan
fase kebangkitan (akhir abad ke-19 sampai sekarang). Fase pertumbuhan dimulai
sejak Rasulullah Saw diangkat menjadi Rasulullah sampai beliau wafat, yang
dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekah yang merupakan masa pembentukan
tauhid dan ayat-ayat yang turun adalah ayat-ayat yang banyak terkait dengan
akidah, serta periode Madinah, dimana ayat yang turun adalah ayat-ayat tentang
pranata sosial. Turunnya ayat-ayat Al-Qur’an selama 23 tahun untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi Rasulullah dan umat Islam. Dalam penetapan hukum,
Rasulullah juga melakukan ijtihad, dimana dalam hal ini terdapat 2 kenyataan,
yaitu ijtihad Rasulullah dikonfirmasi wahyu dan ijtihad Rasulullah yang
dikoreksi wahyu.
Fase
perkembangan (632-661 M) disebut juga fase sahabat dan fase pembentukan ushul
fiqh, yang secara historis merupakan masa Khulafaurasyidin. Pada masa ini
wilayah Islam semakin meluas meliputi Syiria, Yordania, Mesir, Iraq, dan Persia
yang menyebabkan terjadinya perjumpaan antara ajaran Islam dengan sistem,
kultur, dan perilaku baru, dimana ketentuan hukum spesifiknya tidak ditemukan
dalam sumber hukum Islam yang ada, serta wahyu sudah berhenti dan wafatnya
Rasulullah menjadikan umat Islam tidak bisa bertanya kepada beliau sehingga
para sahabat menempuh jalan ijtihad. Adapun karakter fiqh pada fase ini, yaitu
bersifat realistis, bersifat terbuka, mengedepankan musyawarah daripada
pendapat pribadi dalam menetapkan hukum, bersifat kreatif, dan khalifah
sentris.
Fase
formulasi dan sistematisasi (661-950 M). Secara
politik, masa ini merupakan masa pemerintahan dinasti Umayyah dan dinasti
Abbasyiah. Ciri
khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi di kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengertahuan
berkembang. Perkembangan peemikiran ini tidak hanya pada bidang ilmu agama akan
tetapi dalam bidanh ilmi pengetahuan umum lainya. Pada periode ini juga
terjadi pertentangan antara ahl
al-Hadits dan ahl ra’yi, sehingga menimbulkan semangat ijtihad bagi
masing-masing aliran.Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam
periode ini juga mengawali munculnya madzhab-madzhab fiqih, yatitu
madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Upaya ijtihad ijtihad tidak hanya
dilakukan untuk keperluan praktis saja pada masa itu, melainkan juga membahas
tentang persoalan-persoalan yang munkin akan terjadi yang dikenal dengan
istilah fiqih taqdiri (fiqih hipotesis).
Fase
stagnasi (950 sampai akhir abad ke-19 M). Periode
ini dikenal dengan periode kemandekan
dan kemunduran. Hampir tidak ada lagi fatwa baru dikalangan ulama.
Ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad
dikalangan ulama. Ulama fiqh
lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam
madzhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqil (mujtahid mandiri)
tidak ada lagi. Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan
ijtihad secara mandiri, muncul lah sikap at-ta'assub al-madzhabi (sikap fanatik
buta terhadap satu madzhab) sehingga, setiap ulama berusaha untuk
mempertahankan madzhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqo mengatakan bahwa dalam
periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya
pernyataan
Fase
kebangkitan (akhir abad ke-19 sampai sekarang) berkaitan dengan kebangkitan
umat Islam di bidang politik, dimana di beberapa daerah umat Islam ingin
melepaskan diri dari kolonialisme yang disebabkan oleh munculnya kesadaran umat
Islam akan kekalahan dari Eropa, keinginan untuk belajar kepada Eropa sehingga
memunculkan ide pembaharuan, upaya memurnikan ajaran Islam, dan munculnya
semangat menghidupkan ilmu pengetahuan. Sikap umat Islam terhadap Barat pada
masa ini ada dua, yaitu Zealotisme merupakan sikap menutup diri secara fanatic
terhadap barat dan ingin kembali secara introvert kepada praktik Islam masa
lalu. Sikap ini memunculkan gerakan pemurnian Islam, seperti gerakan wahabiyah.
Sikap kedua yaitu Herodianisme merupakan sikap membuka pintu secara selektif
terhadap pengaruh Barat. Adapun beberapa tokoh yang dianggap pembaharu, yaitu
Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Hassan al-Banna, dan Abul A’la
al-Maududy. Pada masa ini, dilakukan upaya-upaya umum di bidang ushul fiqh,
seperti mempelajari karya ulama sebelumnya dengan menyeleksi yang dianggap
valid, mendialogkan dengan hukum positif, dan melakukan kodifikasi fiqh sebagai
qanun (undang-undang).
Dalam
ushul fiqh, terdapat beberapa aliran, yaitu aliran mutakallimin, aliran fuqaha,
dan aliran muta’akhirin. Aliran mutakallimin pendekatannya berupa
doktriner-normatif-deduktif, bahwa setiap muslim harus mendasarkan aktifitas
hidupnya pada Al-Qur’an dan Hadits. Aliran fuqaha disebut juga sebagai aliran
hanafiyah yang dasar pemikirannya bahwa Al-Qur’an dan Hadits memang mengandung
kebenaran yang mutlak, namun pemahaman terhadap nash adalah relatif sesuai
dengan sifat manusia. Sedangkan aliran muta’akhirin merupakan gabungan antara
aliran mutakallimin dan aliran fuqaha dengan cara mengkombinasikan kedua aliran
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Sodiqin, Ali. 2012.
FIQH USHUL FIQH Sejarah, Metodologi dan
Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Beranda Publising.
Hakim Azhari,
Muhammad. 2014. “Sejarah Perkembangan dan
Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh”. Diakses dari http://muhammadhakimazhari.blogspot.com/2014/04/sejarah-perkembangan-dan-aliran-aliran.html
pada 25 Desember 2019.
Miltasari, Tessa.
2017. “Fiqh Dan Ushul Fiqh
Sejarahperkembangan Ushul Fiqh”. Diakses dari http://tessaneechanekonomiislam.blogspot.com/2017/05/makalah-sejarah-perkembangan-ushul-fiqh.html
pada 25 Desember 2019.
Wafie, Ahmad. 2014.
“Sejarah Dan Aliran Ushul Fiqh”.
Diakses dari https://wafieahmad.wordpress.com/2014/06/28/sejarah-dan-aliran-ushul-fiqh/ pada 25 Desember 2019.
No comments:
Post a Comment