Saturday, January 18, 2020

Makalah Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh dan Aliran-Aliran dalam Ushul Fiqh

A.          PENDAHULUAN
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw. Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang.
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri. Untuk itulah kami membuat makalah ini agar para pembaca dapat memahami lebih jauh lagi tentang ushul fiqh dan perkembangannya dimasa sekarang ini.
Memahami sejarah ushul fiqh memiliki urgensi yang signifikan bagi umat islam. Pengetahuan historis ilmu ini memberikan satu kejelasan tentang kedudukanya dalam agama islam, sehingga dapat menghindarkan umat islam dari salah penafsiran terhadap ketetapan hukumnya. Sesuai dengan sifatnya, ilmu ini bersifat relatif, terbentuk karena adanya kepentingan kondisional terkait dengan pelaksanaan ijtihad para ulama pada masanya. Dengan demikian, ketetapan dan rumusanya bukan bersifat mutlak, tidak final, tetapi memungkinkan terjadi perubahan, rekonstruksi, bahkan dekonstruksi.

B.          PEMBAHASAN
1. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
A. Fase Pertumbuhan (610-632 M)
Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada masa tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-II H. Di zaman Rasulullah, sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadits). Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits dan sunnah.
Ilmu ushul fiqh tumbuh bersama dengan ilmu ushul fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukan terlebih dahulu daripada ilmu ushul fiqh. Tumbuhnya ilmu fiqh tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Metode ini tidak lain adalah ilmu ushul fiqh. Sebenarnya keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada saat menghasilkan fiqh-nya. Namun, dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan. Masa inilah yang disebut fase pertumbuhan (610-632 M), yang dimulai sejak Nabi diangkat menjadi Rasul sampai beliau wafat. Masa ini dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekah dan periode Madinah.
a. Tasyri’ (proses perkembangan syariat) pada periode Mekah
Periode Mekah merupakan masa pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan adalah ayat-ayat akidah. Periode ini lebih terfokus pada proses penanaman (ghars) tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasul-Nya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia, seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji, dan manjauhi kerusakan akhlak, seperti zina, pembunuhan, dan penipuan. Beberapa hukum syariat yang turun pada periode ini juga dimaksudkan untuk mewujudkan revolusi akidah tadi. Dengan kata lain, periode Mekah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Suatu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi sosial, dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
b. Tasyri’ pada periode Madinah
Pada periode ini, turun ayat-ayat yang menerangkan hukum-hukum syariah dari semua persoalan yang dihadapi manusia, baik ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, atau muamalat, seperti aturan jual beli, masalah kekeluargaan, kriminalitas, hingga persoalan-persolaan kriminalitas. Dengan kata lain, periode Madinah dapat pula disebut periode revolusi sosial dan politik. Ada tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses perkembangan syariah pada periode ini, yaitu:
a.       Metode Nabi Muhammd Saw dalam menerangkan hukum. Dalam banyak hal, syariat Islam turun secara global. Rasulullah sendiri tidak banyak menerangkan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah, bagaimana syarat dan rukunnya, dan lain sebagainya. Ketika Rasulullah Shalat misalnya, para sahabat melihat Nabi dan menirunya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.
b.    Kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan untuk suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkan berperang pada bulan haji (QS Ali Imran: 218) termasuk masalah-masalah ibadah dan beberapa hal yang menyangkut muamalat.
c.  Turunnya syaruat secara bertahap atau periodic. Tahapan proses turunnya syariat ini berbentuk dua hal. Pertama, tahapan dalam menetapkan kesatuan hukum Islam, seperti shalat disyariatkan pada malam Isra’ Mi’raj (satu tahun sebelum hijriyah), azan pada tahun pertama hijriyah, puasa, shalat ied, qurban, dan zakat pada tahun kedua, hukum waris pada tahun ketiga dan seterusnya. Kedua, bahkan tahapan itu tidak sedikit terjadi pada satu perbuatan. Misalnya, proses diharamkannya khamr. Bagi masyarakat sebelum Islam, minum khamr adalah suatu kebanggaan, dan lambang kehormatan. Dalam kondisi seperti ini akan sangat sulit untuk menghetikannya. Oleh karena itu, pada mulanya Al-Qur’an mencantumkan suatu isyarat tersembunyi tentang kejelekan khamr. “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik”. Satu isyarat bahwa khamr adalah rezeki yang tidak baik. Kemudian “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: ‘pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaatnya.’ Ayat ini mengubah anggapan kaum muslimin yang mengira khamr sebagai suatu kehormatan. Beberapa orang sudah meninggalkannya, tetapi ada juga yang masih menyukainya, bahkan ada yang sempat mabuk ketika melakukan Shalat. Al-Qur’an kembali menegaskan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Shalat sedangakn kamu dalam keadaan mabuk.”
Pada saat kehidupan masyarakat Madinah sudah mapan, yakni pada tahun keenam hijriyah, dengan tegas Allah mengharamkan khamr dan menganggapnya sebagai “perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan,” Dan proses turunnya syariat secara periodik ini mengajarkan sesuatu yang sangat penting, yaitu betapa pembentukan pondasi masyarakat yang layak dan siap menerima Islam harus menjadi garapan utama dan pertama. Aisyah ra juga pernah berkata: “Kalau saja yang pertama turun ‘jangan kamu minum khamr’, maka mereka akan menjawab: ‘kami tidak akan meninggalkan khamr.”
Perlu ditambahkan, bahwa antara periode Mekah dan Madinah terjadi hubungan integral dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Mannaul Qathan, dengan menyitir ahli hukum Syatibi, mengatakan bahwa apa yang turun di Madinah tentu sudah turun di Mekah, paling tidak dalam bentuk pemahaman. Ibarat mata rantai yang saling berkaitan, tasyri’ pada periode Mekah dan Madinah mengajarkan suatu pelajaran yang amat penting tentang bagaimana cara mengaintisipasi persoalan-persoalan baru yang bakal muncul.
Turunnya ayat Al-Qur’an selama 23 tahun
        Ayat-ayat Al-Qur’an yang diwahyukan kurang lebih selama 23 tahun, pada umumnya diturunkan untuk hal-hal berikut.
1)   Memecahkan masalah yang dihadapi oleh Rasulullah dan umat Islam pada masanya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang merupakan jawaban langsung atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kaum Muslimin maupun kaum kafir. Sebagai contoh QS. Al-Baqarah (2:217) merupakan jawaban atas pertanyaan tentang hal-hal yang dilarang pada bulan haram, ayat 219 merupakan jawaban dari pertanyaan tentang khamr dan judi, serta ayat 222 merupakan jawaban dari pertanyaan tentang haid.
2)   Berkaitan dengan peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi selama era kenabian. Misalnya surat An-Nur (24) ayat 6-9 adalah ayat yang turun terkait dengan kasus Hilal Ibn Umayyah yang menuduh istrinya berzina tetapi tidak mampu menghadirkan empat orang saksi.
3)   Terjadi pentahapan dalam penurunan ayat Al-Qur’an, metode ini dipandang efektif. Contoh proses pelarangan riba dengan empat tahap.
Rasulullah juga melakukan ijtihad dalam hal nash tidak ada. Dalam hal ini ada dua kenyataan, yaitu:
a.    Ijtihad Rasulullah dikonfirmasi oleh wahyu. Contohnya, Rasulullah melarang seseorang menikah dengan bibinya. Dan larangan ini kemudian ditegaskan oleh wahyu An-Nisa ayat 24.
b.  Ijtihad Rasulullah dikoreksi wahyu. Contohnya, Rasulullah pernah memutuskan terjadinya perceraian dengan dzihar (ungkapan suami yang menyamakan istri dengan ibu kandung atau mahramnya, seperti adik atau kakak perempuannya) yang dilakukan oleh Aus bin Shamit kepada istrinya Khalwah binti Tsa’labah. Keputusan ini dikoreksi oleh surah Al-Mujadalah ayat 1-3, bahwa dzihar tidak bisa menyebabkan terjadinya perceraian.
Metode legislasi Rasulullah
Rasulullah tidak pernah membuat kategori hukum, baik taklifi maupun wadl’l. Dalam beberapa hal, Rasulullah meletakkan aturan tertentu tanpa menyebut rinciannya, sehinggan Rasulullah sangat menganjurkan para sahabat untuk menggunakan akalnya tatkala mereka harus memutuskan masalah, sementara tidak menemukan rujukannya di dalam Al-Qur’an maupun saat tidak bertemu dengan Rasulullah. Hal ini dapat dilihat dari apresiasi Rasulullah bahwa seseorang yang memutuskan sebuah masalah, jika ia benar akan mendapatkan dua pahala dan jika ia salah maka akan mendapatkan satu pahala.
Rasulullah sangat menghargai perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang telah berani melakukan ijtihad. Misalnya, dalam kasus Bani Quraidzah, saat itu ada sekelompok sahabat yang akan bepergian. Rasulullah berpesan agar melaksanakan Shalat Ashar ketika sudah sampai di tempat yang dituju. Namun, ketika masih dalam perjalanan, waktu Shalat Ashar telah tiba. Menyikapi hal tersebut, sahabat berbeda pendapat. Ada yang Shalat di perjalanan dan ada yang Shalat ketika sampai di tempat yang dituju. Peristiwa tersebut kemudian disampaikan kepada Rasulullah, dan Beliau diam tidak menyalahkan salah satunya. Contoh lainnya adalah ketika dua orang sahabat berada dalam suatu perjalanan. Saat itu sudah tiba waktu Shalat Ashar, sedangkan di tempat mereka tidak ada air suci yang dapat mereka gunakan untuk berwudhu, sehingga mereka memilih bertayammum dan melaksanakan Shalat. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan mereka dan di tengah perjalanan mereka menemukan air suci yang dapat digunakan untuk berwudhu sedangkan waktu Shalat Ashar belum berkahir. Salah satu sahabat memilih untuk berwudhu dan mengulang Shalatnya, sedangkan sahabat yang satunya memilih untuk tidak mengulang Shalatnya. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah dan beliau menjawab untuk sahabat yang tidak mengulang Shalatnya “Shalat mu sudah mencukupi”, sedangkan untuk shaabat yang memilih berwudhu dan mengulang Shalatnya, beliau berkata “Bagimu dua pahala”.
Rasulullah mengajarkan prinsip musyawarah dalam memutuskan suatu masalah. Dalam kasus-kasus individu, Rasulullah membiarkan perbedaan pendapat terjadi. Tetapi dalam kasus-kasus yang menyangkut kepentingan umum, Rasulullah menganjurkan musyawarah mufakat. Fenomena ini kelak dijadikan sebagai landasan ijma’.
Keadaan fiqh pada masa ini
Pada periode pertama ini, keadaan fiqh memang masih sederhana, berupa pengenalan terhadap hukum-hukum Islam dalam ruang dan waktu tertentu. Beberapa masalah, peristiwa, situas, dan kondisi yang ditemui Nabi dan para sahabat yang dirujukkan pada hukum-hukum Al-Qur’an akan sangat mendukung pernyataan ini. Memang beberapa sahabat pernah mencoba mengangkat permasalahan “fiqh praktis” ketika tidak bersama dengan Rasulullah, namun selain karena jarang terjadi, juga intensitasnya sangat kecil. Para sahabat sangat jarang menanyakan suatu ketentuan hukum sehingga banyak perbuatan yang saat itu hanya diterima tanpa mendapat penjelasan. Karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pada periode pertama ini keadaan fiqh lebih merupakan kerangka dasar untuk suatu perumusan lebih lanjut.

B. Fase Perkembangan (632-661)
Kondisi objektif pada masa ini
a.  Merupakan fase sahabat, yang dikenal dengan fase pembentukan fiqh.
Periode ini bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abu Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah Islam setelah wafatnya Nabi.
b. Secara historis merupakan masa Khulafaurasyidin
Pada periode ini, ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat dalam satu mushaf datang daru Umar bin Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaiakan oleh Umar keapda khalifah Abu Bakar, dimana pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada akhirnya Abu Bakar menerima ide tersebut. Maka dari itu, beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit binatang, tulang-tulang, dan yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini disimpan oleh Abu Bakar, kemudian setelah beliau wafat, mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar dan setelah Umar wafat disimpan pada Hafsah binti Umar. Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf yang ada pada Hafsah kemudian menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah Islam, yaitu ke Madinah, Mekah, Kufah, Basrah, dan Damaskus. Mushaf itulah yang sampai kepada kita sekarang.
Ayat-ayat Al-Qur’an pada saat Nabi wafat telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar dan belum disatukan. Nabi selalu meminta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadits agar tidak bercampur dengan Al-Qur’an. Disamping itu, Al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat, bahkan banyak sahabat yang menghafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Akibat tidak tertulisnya dan tidak terkumpulnya Hadits dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka ulama-ulama pada periode selanjutnya harus meneliti keadaan perawi Hadits dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadits serta muncul Ilmu Musthalah Hadits. Akibat lainnya adalah timbulnya perbedaan dalam menanggapi suatu Hadits tertentu.
c. Wilayah Islam sudah semakin meluas, meliputi Syiria, Yordania, Mesir, Iraq, dan Persia.
d. Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, menyebabkan terjadi perjumpaan antara Islam dengan sistem, kultur, dan perilaku baru, dimana ketentuan hukum spesifiknya tidak ditemukan dalam sumber hukum Islam yang ada.
e. Frekuensi ijtihad bertambah.
Sebab-sebab munculnya ijtihad
Pada masa ini, Islam telah menyebar luas, misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam, dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan, dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar jazirah Arab ini memunculkan berbagai masalah baru yang menuntut adanya kepastian hukum, sementara wahyu sudah berhenti dan wafatnya Rasulullah Saw menjadikan umat Islam tidak bisa bertanya langsung kepada beliau. Hal ini mendorong pertumbuhan fiqh Islam pada periode-periode selanjutnya, bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya, kasis Usyur (bea cukai barang-barang impor), kasus muallaf, dan lain-lain pada zaman Umar bin Khattab. Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya di dalam Al-Qur’an. Apabila tidak ditemukan, dicari di dalam Hadits. Dan apabila juga ditemukan, barulah berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad jama’i. Apabila mereka bersepakat, terjadilah imja sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal.
Umar bin Khattab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu musyawarah yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Ansar, yang bertugas memusyawarahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun musyawarah yang bersifat umum dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di Masjid, apabila terdapat permasalahan yang sangat penting.
Walaupun demikian, tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad para sahabat dalam masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan kemaslahatan umum. Mereka menanyakan masalahanya kepada salah seorang sahabat Nabi dan diberikan jawabannya. Para sahabat berijtihad dalam hal yang belum ada nash-nya. Jadi, pada masa sahabat ini, sudah ada tiga sumber hukum, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijtihad. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’I dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardhi dalam hal-hal yang bersifat pribadi.
Beberapa kejadian ijtihad di masa sahaba
1)   Abu Bakar menerapkan surah ke-50 dalam penyerangan ke Syiria, yaitu membiarkan
     pendududk Kristen menjalankan hukum dan adatnya sendiri.
 2)  Umar bin Khattab mengeluarkan muallaf dari golongan mustahik, dengan alasan muallaf pada
     masa Umar tidak perlu lagi diberi bagian zakat dan tidak memberlakukan hukuman potong
     tangan bagi pencuri.
3)  Umar banyak mempertimbangkan keputusan hukumnya dengan mempertimbangkan
     maqashid syari’ah.
                      4)   Ali bin Abi Thalib menggunakan qiyas ketika memutuskan hukum peminum khamr, yaitu diqiyaskan dengan hukuman           pelaku qadzaf (menuduh zina).
Karakteristik fiqh sahabat
         1)       Bersifat realistis, karena ketetapan fiqhnya berdasarkan pada problem-problem aktual yang terjadi. Tidak ada ketetapan fiqh yang bersifat hipotesis atau rekaan semata, sehingga bentuk fiqh pada masa ini disebut dengan fiqh al-waqi’I (fiqh realisitk).
         2)       Bersifat terbuka, karena tidak menerapkan prosedur-prosedur tertentu yang harus diikuti dalam menetapkan aturan hukum. Para sahabat juga tidak membuat catatan atas ketetapan hukum yang mereka hasilkan. Di samping itu, mereka menghargai kebebasan pendapat yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
         3)       Mengedepankan musyawarah (ijmak) daripada menggunakan pendapat pribadi dalam penetapan hukum. Hal ini dipraktekkan oleh para Khulafaurasyidin, sehingga memperkecil ruang ikhtilaf maupun perpecahan di kalangan umat Islam. Meskipun demikian, para sahabat tetap menghormati pendapat pribadi di antara mereka.
         4)     Bersifat kreatif, dalam arti melakukan modifikasi terhadap aturan hukum sebelumnya. Alasan modifikasi ini adalah tiadanya illat bagi keberadaan hukum tersebut atau adanya perubahan kondisi sosial. Contoh dalam kasus ini adalah ijtihad Umar bin Khattab yang melarang pendistribusian zakat bagi muallaf adalah untuk mendapatkan dukungan, namun pada masa Umar dukungan muallaf tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi mengingat eksistensi umat Islam sudah kuat. Contoh kedua terkait dengan penetapan talaq tiga. Pada masa Rasulullah, pernyataan tiga kali talaq dalam satu kesempatan dianggap sebagai satu kali pernyataan talaq, namun khalifah Umar menetapkan bahwa talaq tiga kali tersebut dianggap jatuh talaq tiga.
         5)      Khalifah sentris, yaitu keputusan akhir yang melibatkan ijmak dan ijtihad berada di tangan khlaifah. Namun, keputusan khalifah sebelumnya tidak mengikat bagi khalifah sesudahnya. Khalifah pengganti dapat mengubah aturan hukum dari khalifah sebelumnya. Contohnya, khalifah Ali mengubah hukuman bagi peminum khamr. Khalifah Abu Bakar dan Umar mengubah hukuman bagi peminum khamr dengan 40 kali cambuk, sedangkan Khalifah Ali menambah hukuman tersebut menjadi 80 kali cambuk.
Sejarah hukum Islam pada masa Khulafaurasyidin secara periodic terbagi menjadi 4, yaitu periode Abu Bakar, periode Umar bin Khattab, periode Usman bin Affan, dan periode Ali bin Abi Thalib. Yang perlu digaris bawahi dalam pemahaman mengenai tasyri’ pada masa ini adalah meskipun disebut periode Khulafaurasyidin, namun dalam prakteknya para mujtahid hukum bukan hanya para Amirul Mukminin yang 4 saja, akan tetapi seluruh kibarus sahabat yang hidup pada masa ini juga sering berijtihad terhadap permasalahan yang dirasa aktual dan dibutuhkan di antara umat Islam.
Dalam hal permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash Al-Qur’an, maka digunakan hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila hukum permasalahan itu tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, maka mereka mencari hukumnya di dalam Hadits. Namun karena Hadits belum dibukukan, maka sering terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu persoalan yang sama tetapi menghasilkan produk hukum yang berbeda, tergantung kapasitas Hadits yang dimiliki masing-masing sahabat. Untuk menghadapi masalah ini, para sahabat seringkali berdiskusi untuk saling bertukar wawasan tentang Hadits yang mereka hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka mereka berijtihad dengan menggunakan ra’yu mereka sendiri-sendiri, yang kemudian terciptalah Qiyas, penggalihan illat hukum, ijma’, hingga akhirnya pada tahap penelusuran substansi syari’at dengan menggunakan metode maslahah, yaitu mencari hal yang maslahat bagi manusia secara umum.

C. Fase Formulasi dan Sistematisasi (661-950 M)
Secara politik, masa ini merupakan masa pemerintahan dinasti Umayyah dan dinasti Abbasyiah. Masa ini wilayah kekuasaan islam sudah meluas sampai diseluruh jaziarah Arab. Secara geografis, kota intelektual saat itu terbagi menjadi tiga kota, Iraq (terdiri dari kuffah dan basrah), Hijaz (meliputi Makkah dan Madinah), dan Syiria. Iraq dan Hijaz memiliki pengaruh besar terhadap  pembenttukan fiqih dan ushul fiqih.  Ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi  di kalangan ulama, sehingga  berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan peemikiran ini tidak hanya pada bidang ilmu agama akan tetapi dalam bidanh ilmi pengetahuan umum lainya.
Masa dinasti Abbasiyah menggantikan dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang  ilmu sangat besar sehingga perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang sangat pesat. Pada masa dinasti Abbasiyah  lah masa kejayaan intelektual  yang hebat dalam sejarah islam. Puncak keemasaan ilmu pengetahuan terjadi pada masa kepemimpinan khalifah Harun ar-Rasyid. Perhatian khusus para khalifah terhadap para fuqaha dan mendorong mereka untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna mengahadapi persoalan  sosial dimasyarakat yang begitu komplesk. Perhatian penguasa Abbasiyah terhadap fiqih misalnya pada pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid yang meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan, dan pertanahan. Imam Abu Yusuf  meemnuhi permintaan khalifah dengan menyusun  buku yang berjusul al-Kharaj.  Kemudian pada masa khalifaj Abu Ja’far al- Mansyur, ia juga meminta kepada Imam Malik untuk menulis sebuah buku kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintahan dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam malik menyusun kitab nya yang berjudul al-Muwaththa’
Pada periode ini juga terjadi pertentangan antara  ahl al-Hadits dan ahl ra’yi, sehingga menimbulkan semangat ijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad  dalam  periode ini juga mengawali munculnya madzhab-madzhab fiqih, yatitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Upaya ijtihad ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis saja pada masa itu, melainkan juga membahas tentang persoalan-persoalan yang munkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqih taqdiri (fiqih hipotesis).

Dua Aliran besar di Kalangan Mujtahid
a.    Madrasah ahl ra’yi
1)   Berpusat di kuffah.
2)   Banyak merujuk fatwa-fatwa dari sahavat Abdullah Ibn Mas’’ud dan Ali Ibn Abi Thalib.
3)   Berprinsip bahwa nash telah terbatas sementara kejadian terus muncul.
4)   Peristiwa yang tidak ada nash nya harus dilakukan ijtihad dengan ra’yu.
5)   Hukum syara’ selalu mengandung illat tertentu dan tujuan tertentu pula.
6)   Produk fiqh banyak yang bersifat hipotesis, dan terkadang menciptakaun problem-problem yang fiktif.
7)   Tugas ulama adalah menemukan illat tersebut dan mengaplikasikanya dalam peristiwa yang dihadapi.
8)   Tokoh madrasah ahl ra’yu adalah Abu Hanifah.
b.    Madrasah ahl al- Hadits
1)   Berpusat di Hijaz, dengan tokohnya Said Musayyab al- Makhzumi
2)   Banyak merujuk pada fatwa-fatwa dari sahabtat Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Umar, Aisyah binti Abu Bakar
3)   Fiqih yang dihasilkan bersifat praktis, berdasarkan problem-problem aktual
4)   Para tokohnya, Malik Ibn Anas, Muhammad Ibn Idris, Ahmad Ibn Hanbal, Daud Az-Zahiri
Perbedaan antara madrasah ahl ra’yi dan ahl al- hadits
1)   Ahl ra’yi lebih dominan penggunaan akalnya, sebab kuffah adalah wilayah metropolitan, sehingga masalah-masalah di kuffah lebih kompleks sementara sedikit sahabat yang ada disana, dan itu berarti lebih sedikit jumlah hadis yang beredar.
2)   Ahl al-hadits lebih dominan penggunaan hadits dikarenakan banyak sahabat yang hidup di Hijaz. Di samping itu, masyarakat hijaz lebih tradisional dan masalah-masalah yang ada disana tidal kompleks.

Pertentang antar kedua aliran diatas baru mereda setelah murid-murid kelompok ahl ra’yi berupaya membatasi, mensistematisasi dan menyususn kaidah ra’yu yang dapat digunakan untuk mengistinbatkan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahl al-hadits dapat menerima pengertian ra’yu yang dimaksudkan ahl ra’yi sekaligus menerima ra’yu sebagai salah satu cara dalam mengistinbatkan hukum. Upaya pendekan lainya yang dilakukan untuk meredakan ketengangan tersebut juga dilakukan oleh ukama masing-masing madzhab. Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa’ yang merupakan salah satu kitab ahl al-hadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi’i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Di samping tu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari Hadits yang dapat mendukung fiqh ahl ra’yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra’yu.
Pada masa ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan ushul fiqh. Diantara kitab- lkitab tersebut akan dijelaskan dibawah ini.
1)   Kitab al-Muwaththa karya Imam Malik yang berisi tentang prinsip dasar fiqh
2)   Al-um karya Imam asy-Syafi’i yang berfokus pada aplikasi prinsip-prinsip fiqh dengan sedikit referensi hadits
3)   Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir karya Imam asy-Syabani
4)   Dan kitab ynag pertama muncul adalah ar-Risalah karya Imam asy-Syafi’i
D. Fase Stagnasi (950 sampai akhir abad ke-19 M)
Periode ini dikenal dengan periode kemandekan  dan kemunduran. Hampir tidak ada lagi fatwa baru dikalangan ulama. Ditandai dengan melemahnya  semangat ijtihad dikangan ulama. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam madzhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqil (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada mujtahid yang berijtuhad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari  prinsip madzhab yang mereka anut.  Artinya Ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-madzhabi (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada pada dalam madzhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, munculah sikap at-ta'assub al-madzhabi (sikap fanatik buta terhadap satu madzhab) sehingga, setiap ulama berusaha untuk mempertahankan madzhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqo mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
1.      Dorongan para penguasa kepada para hakim (qodi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu madzhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
2.      Munculnya sikap at-ta'assub al-madzhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berfikir) dan taklid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam madzhab.
3.      Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing madzhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat madzhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing madzhab, sehingga aktifitas ijtihad terhenti. Ulama madzhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab madzhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid terhadap madzhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antara pengikut madzhab semakin tajam, sehingga subjektivitas madzhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukan oleh masing-masing marzhab, kareblna sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam madzhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam madzhab masing-masing.
Faktor-faktor yang menyebabkan stagnasi dan kemunduran
1.    Runtuhnya dinasti Abbasiyah yang memiliki concern dalam pengembangan fiqh internal umat islam terjadi pergolakan politik, umat islam teropecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil sehingga, perhatian terhadap ilmu pengetahuan mengecil.
2.    Negara-negara islam berada dalam genggaman kolonialisme.
3.    Madzhab fiqh sudah terbentuk sempurna dan karya fiqh dianggap manpu menyelesaikan berbagai persoalan.
4.    Pengaruh ajaran sufisme yang ekstrim dengan menyampingkan urusan duniawi.
5.    Wilayah-wilayah pecahan Abbasiyah memiliki madzhab tertentu. Mesir menganut madzhab syafi'i, Andalusia menganut madzhab Maliki, Turki dan India menganut madzhab Hanafi.
6.    Pintu ijtihad telah tertutup.
7.    Kebangkitan Barat.
Akhir masa ini lahirlah para Imam yang berupaya melakukan pembaharuan. Para pembaharuan ini melawan taqlid dan mengaktifkan ijtihad. Diantara ulama pembaharu, Ahmad Ibn Taymiyah (1263-1328), Syah Waliyullah al-Dihlawi (1703-1762), Muhammad Ali asy-Syaukani (1757-1853).
E.  Fase kebangkitan (Akhir abad ke-19 sampai sekarang)
Kebangkitan fiqh dan ushul fiqh berkaitan dengan kebangkitan umat Islam di bidang politik. Di beberapa wilayah umat islam mulai berusaha melepaskan diri dari kolonialisme. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1.    Munculnya kesadaran diri umat Islam akan kekalahannya dari Eropa
2.    Keinginan untuk belajar kepada Eropa sehingga menimbulkan ide-ide pembaharuan
3.    Upaya memurnikan ajaran Islam dari pengaruh bid’ah dan khufarat, dan
4.    Ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dari Barat menyadarkan umat Islam untuk menghidupkan semangat ilmu pengetahuan.
Secara umum sikap Islam terhadap kemajuan Barat dapat dibagi menjadi dua: pertama, Zealotisme, yaitu menutup diri secara introvert kepada praktek Islam masa lalu. Sikap ini menimbulkan adanya gerakan pemurnian Islam (puritanisme), seperti adanya gerakan Wahabiyah, yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di Arabia. Kedua, Herodianisme yaitu membuka pintu secara selektif terhadap pengaruh Barat, mengambil yang baik dan menolak yang buruk. Sikap ini berdampak pada munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dalam dunia Islam. Gerakan pembaharuan yang muncul pada saat itu adalah:
1.    Pan-Islamisme, dipimpin oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) dengan tujuan: (1) menggalang persatuan umat Islam sedunia; (2) membangkitkan semangat lokal negeri-negeri Islam untuk melepaskan diri dari penjajah.
2.    Nasionalisme, dipimpin oleh At-Tahawi (1801-1873) di Mesir, dengan pemikiran: Negara Islam akan maju jika di bawah penguasa sendiri dan bukan dijajah bangsa asing.
3.    Hizbul Wathan, dipimpin oleh Mustafa Kamil di Mesir. Gerakan ini mengakibatkan terjadinya Revolusi Mesir pada 23 Juli 1952, dan mengakibatkan terbentuknya Republik Mesir pada 18 Juni 1953 dengan presidennya Mayor Jendral Naguib.
Beberapa tokoh yang dianggap sebagai pembaharu yang menjadi tanda awal kebangkitan Islam, sebagai berikut. Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M), Hasan al-Bana (w. 1949 M), Abul A’la Al-Maududi (1903-1979 M), dan lain-lain. Para pembaharu ini berusaha mengembalikan watak asli fiqh yang dinamis, meskipun tidak sepenuhnya memberantas fanatisme Mazhab.
Di bidang fiqh ushul fiqh mulai ada upaya untk mempelajari karya ulama sebelumnya. Seleksi kitab- kitab fiqh ini dilakukan untuk mwmilih mana yang paling valid dan membandingkan dengan hukum positif. Kebangkitan lain adalah adanya upaya mengkodifikasikan fiqh menjadi qanun (undang-undang). Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Kekhalifahan Turki Usmani. Kodifikasi hukun ini bernama Majallah al-Ahkam al-‘Adillah (Kitab Undang-Undang Keadilan) yang selesai tahun1876 M. kandungan materi undang-undang ini mengacu pada mazhab Hanafi. 
2. Aliran-Aliran Dalam Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak berhenti, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Masing-masing aliran memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyusun dan membangun teori yang terdapat dalam ushul fiqih. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) yang cenderung deduktif dan tekstual dan aliran fuqaha (Aliran Hanafiyah) yang menekankan induktif dan kontekstual. Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
      a.      Aliran Mutakallimin
Aliran ini juga di sebut dengan Thariqah Syafi’iyah. Aliran ini juga disebut dengan thariqah Syafi'iyah. Pendekatannya bersifat doktriner-normatif-deduktif. Menurut aliran ini secara doktriner normatif setiap muslim harus mendasarkan aktivitas hidupnya pada Al-Qur’an dan hadis. Kedua sumber hukum tersebut dianggap sebagai norma pengatur tertinggi yang memuat segala aturan kehidupan manusia. Aliran ini berusaha meletakkan aturan-aturan penafsiran yang mengikat para ulama untuk mengikutinya. Aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah. Aliran Mutakakallimin lebih berorienntasi kepada hal-hal berikut, yakni :
1.      Analisis kasus-kasus.
2.      Formulasi kaidah-kaidah hukum (al-qawa’id)
3.      Aplikasi qiyas yang disertai penalaran rasio sejauh mungkin
4.      Mengkonstruksi isu-isu fundamental teori hukum tanpa terikat dengan fakta hukum yang kasuistis dan pikiran hukum madzhab fiqh yang ada.
Ciri aliran ini terlihat dari pendekatannya yang teoritis. Penafsirannya bernuansa atas-bawah, dimulai dengan mengutip ayat kemudian dijelaskan arti dan maksudnya serta ilustrasi lain yang terkait. Penafsiran yang bersifat top-down ini diperkuat dengan penggunaan kaidah-kaidah kebahasaan yang rumit. Hasil penafsiran dari ayat tersebut dijadikan dasar untuk membangun atau merumuskan kaidah ushuliyah maupun fiqhiyah.
            Kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah, adalah kaidah-kaidah yang digunakan ulama Ushul berdasarkan makna dan tujuan nas menurut kaidah-kaidah kebahasaan Arab. Kaidah-kaidah ini dirumuskan oleh para ulama Ushul sebagai dasar istinbath hukum dari Nash Al-qur’an maupun hadis. Kaidah ushuliyah ini berkaitan dengan Amar, nahi, ‘am, khas, mutlaq, muqayyad, dan sebagainya.
            Kaidah fiqhiyah adalah hukum-hukum yang berkaitan asas hukum yang dibangun oleh Syar’i serta tujuan setiap tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyari’atanya. Kaidah ini disebut juga dengan kaidah syar’iyah yang berfungsi memudahkan mujtahid mengistimbatkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara dan kemaslahatan manusia. Pembahasan kaidah ini meliputi lima asas, yaitu:
1.      segala masalah tergantung pada tujuannya,
2.      kemudharatan itu harus dihilangkan,
3.      kebiasaan itu dapat dijadikan hukum,
4.      yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan, dan
5.      kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Kaidah ushuliyah maupun fiqhiyah ini di gali dari nash di teoritiskan menggunakan hukum logika yang digunakan untuk mempermudah penemuan hakikat syara’, sehingga memiliki kegunaan praktis untuk menjustifikasi masalah tanpa harus merujuk langsung pada nashnya. Aliran ini berusaha menjadikan usul fiqh sebagai teori yang independen, yang dapat diaplikasikan terhadap segala persoalan dan tidak terfokus pada masalah fiqh saja. Tokoh dari aliran ini antara lain: Syafi'iyah, Malikiyah, Hanabilah dan Jumhur mutakallimin. Kitab Ushul fiqih yang disusun menggunakan pendekatan ini adalah:
1.         Ar-risalah karya As-Syafi’i
2.         Al-Mushtashyfa Karya Muhammad al-Ghazali
3.         Al-Mu’tamad karya Abu Al-Husein Muhammad bin Ali al-Basri
4.         Al-Burhan Fi Ushul al-Fiqh karya Imam al-Haramayn al-Juwaini
5.         Jam’u al-jawami karya Tajudin Abd al-wahhab al-subkhi Al Syafi'i.
       b.      Aliran Fuqaha
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Nama lain aliran ini adalah thariqah Hanafiyah yang dinisbahkan kepada tokoh utamanya, yaitu ulama-ulama yang bernaung di bawah mazhab Hanafi. Dasar pemikirannya adalah bahwa Al-Qur’an dan hadis memang mengandung kebenaran mutlak namun pemahaman terhadap Nash adalah relatif sesuai dengan sifat relatif manusia. Pendekatannya bersifat kontekstual yang bertumpu pada empiris-historis-induktif.
Analisis induktif diwujudkan dengan selalu melihat realitas sosial yang berkembang. Permasalahan yang ada dalam masyarakat dilihat sebagai fenomena yang menjadi dasar pertimbangan penetapan hukum. Teori ini bersifat pragmatis yaitu diformulasikan untuk dapat diaplikasikan terhadap kasus yang relevan. Penekanan terhadap permasalahan menghasilkan sikap kompromi manakala terjadi pertentangan dengan kaidah atau zhahir Nash. Prinsip istihsan merupakan teori yang dirumuskan berdasarkan pola pikir aliran ini.
Teori atau kaidah yang dibangun oleh aliran ini didasarkan pada analisis masalah-masalah aktual yang terjadi. Jika terjadi pertentangan antara kaidah yang dibangun dengan masalah yang muncul, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan masalah. Berbeda dengan thariqah mutakallimin aliran ini berusaha menghubungkan usul Fiqh sedekat mungkin dengan fiqh. Ushul fiqh adalah teori untuk menghasilkan fiqh sehingga prinsip-prinsipnya disesuaikan dengan kebutuhan fiqh. Disamping itu, aliran ini menganalisa karya ulama terkenal dan mengidentifikasi metodologi yang dipakai. Kitab Ushul fiqih yang disusun dengan pendekatan ini antara lain.
1.    Kitab al-Ushul karya Abu Bakar al-Jashshash.
2.    Kitab al-Ushul karya Abu Hasan al-kharki
3.    Ta’sis an-Nazar karya Abu Zaid al-Dabusy
4.    Kasyf al-Asror karya Imam Al-bazdawi.
     c.       Aliran Muta’akhirin
Aliran Metode ini merupakan gabungan antara Metode Mutakallimin dan metode fuqaha. Metode yang ditempuh ialah dengan cara mengombinasi kedua aliran tersebut. Mereka memerhatikan kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah ini juga memerhatikan penerapannya terhadap masalah fikih far’iyah dan relevansinya dengan kaidah-kaidah tersebut. Pemikiran yang diterapkan pada aliran ini adalah dalam abad-abad itu muncul pula para ulama yang dalam pembahasannya memadukan antara dua aliran tersebut, yakni dalam menetapkan kaidah,memperhatikan alasan-alasannya yang kuat dan memperhatikan pula persesuaiannya dengan hukum-hukum furu‘.
Para ulama’ yang menggunakan aliran muta’akhirin ini berasal dari kalangan Syafi’iayah dan Hanafiyah. Aliran ini muncul setelah aliran Syafi’iyah dan Hanafiyah sehingga disebut sebagai aliran muta’akhirin. Kitab-kitab ushul yang menggabungkan kedua teori :
1.      At-tahrir disusun oleh kalam Ad-din Ibnu Al-Humam Al-Hanafi.
2.      Tanqih al-ushul ,disusun oleh Shadr Asy-Syari’ah .
3.      Jam’u Al-Jawami , disusun oleh Taj Ad-din Abdul Al-Wahab As-Subki Asy-Syafi’i.
4.      Musallam Ats-tsubut, disusun oleh Muhibullah Ibnu Abd. Al- Syakur.
3. Perbedaan Antara Aliran-Aliran Ushul Fikih
Untuk mengetahui lebih jelas dan  mengenai perbedaan aliran mutakallimin dengan aliran fuqaha, dapat dikaji melalui perbandingan yang dapat dilihat pada tiga hal:
1.      Formulasi kaidah (al-Ta’sis)
Dalam memformulasikan kaidah ushul, mutakallimin berpegang pada pemahaman ushlub bahasa, dalil-dalil syara’ dan dalil akal.Sedangkan golongan fuqaha kaidah ushulnya, diangkat dari fatwa-fatwa ulama dengan jalan mengaitkan antara masalah-masalah furu’ dengan kaidah-kaidah ushulnya.
2.      Metodologi (al-Manhaj)
Dari segi metode aliran mutakallimin mempergunakan metode teoritis deduktif, dimana teori itu dijadikan istinbath hukum.Sementara itu, metode aliran fuqaha adalah metode aliran praktis (amali) yang berasal dari hasil penelitian hukum-hukum furu.Dengan demikia, jelaslah perbedaan antara dua aliran ini.Sebab, ushul mutkallimin adalah merupakan aturan-aturan istinbath (qawanin istinbath) yang bersifat menetapkan, sedangkan ushul fiqih fuqaha bersifat ditetapkan oleh furu’, bukan menetapkan furu’.
3.      Aspek Pemikiran (al-Tafkir)
Aliran mutakallimin, dalam sistematika pembahasannya, memulai pembahasan yang bersifat kebahasaan, kemudian pembahasaan yang berhubungan dengan ilmu manthiq.Terakhir, pembahasaan yang berhubungan dengan dalil-dalil syara’.Sistematika semacam ini telah ditempuh oleh Al-Ghazali. Sedangkan aliran fuqaha memulai dengan mengungkapkan dalil-dalil syara’, cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalinya (thuruq al-istismar), pemahaman  tentang persyaratan  ijtihad dan terakhir tentang kedudukan mujtahid dalam ijtihad  manusia. Cara ini ditempuh oleh Fakhr al-Islam al-Bazdawi.

C.      PENUTUP
Secara garis besar, perkembangan fiqh dan ushul fiqh terbagi menjadi 5 fase, yaitu fase pertumbuhan (610-632 M), fase perkembangan (632-661 M), fase formulasi dan sistematisasi (661-950 M), fase stagnasi (950 sampai akhir abad ke-19 M), dan fase kebangkitan (akhir abad ke-19 sampai sekarang). Fase pertumbuhan dimulai sejak Rasulullah Saw diangkat menjadi Rasulullah sampai beliau wafat, yang dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekah yang merupakan masa pembentukan tauhid dan ayat-ayat yang turun adalah ayat-ayat yang banyak terkait dengan akidah, serta periode Madinah, dimana ayat yang turun adalah ayat-ayat tentang pranata sosial. Turunnya ayat-ayat Al-Qur’an selama 23 tahun untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi Rasulullah dan umat Islam. Dalam penetapan hukum, Rasulullah juga melakukan ijtihad, dimana dalam hal ini terdapat 2 kenyataan, yaitu ijtihad Rasulullah dikonfirmasi wahyu dan ijtihad Rasulullah yang dikoreksi wahyu.
Fase perkembangan (632-661 M) disebut juga fase sahabat dan fase pembentukan ushul fiqh, yang secara historis merupakan masa Khulafaurasyidin. Pada masa ini wilayah Islam semakin meluas meliputi Syiria, Yordania, Mesir, Iraq, dan Persia yang menyebabkan terjadinya perjumpaan antara ajaran Islam dengan sistem, kultur, dan perilaku baru, dimana ketentuan hukum spesifiknya tidak ditemukan dalam sumber hukum Islam yang ada, serta wahyu sudah berhenti dan wafatnya Rasulullah menjadikan umat Islam tidak bisa bertanya kepada beliau sehingga para sahabat menempuh jalan ijtihad. Adapun karakter fiqh pada fase ini, yaitu bersifat realistis, bersifat terbuka, mengedepankan musyawarah daripada pendapat pribadi dalam menetapkan hukum, bersifat kreatif, dan khalifah sentris.
Fase formulasi dan sistematisasi (661-950 M). Secara politik, masa ini merupakan masa pemerintahan dinasti Umayyah dan dinasti Abbasyiah. Ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi  di kalangan ulama, sehingga  berbagai pemikiran tentang ilmu pengertahuan berkembang. Perkembangan peemikiran ini tidak hanya pada bidang ilmu agama akan tetapi dalam bidanh ilmi pengetahuan umum lainya. Pada periode ini juga terjadi pertentangan antara  ahl al-Hadits dan ahl ra’yi, sehingga menimbulkan semangat ijtihad bagi masing-masing aliran.Semangat para fuqaha melakukan ijtihad  dalam  periode ini juga mengawali munculnya madzhab-madzhab fiqih, yatitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Upaya ijtihad ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis saja pada masa itu, melainkan juga membahas tentang persoalan-persoalan yang munkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqih taqdiri (fiqih hipotesis).
Fase stagnasi (950 sampai akhir abad ke-19 M). Periode ini dikenal dengan periode kemandekan  dan kemunduran. Hampir tidak ada lagi fatwa baru dikalangan ulama. Ditandai dengan melemahnya  semangat ijtihad dikalangan ulama. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam madzhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqil (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncul lah sikap at-ta'assub al-madzhabi (sikap fanatik buta terhadap satu madzhab) sehingga, setiap ulama berusaha untuk mempertahankan madzhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqo mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan
Fase kebangkitan (akhir abad ke-19 sampai sekarang) berkaitan dengan kebangkitan umat Islam di bidang politik, dimana di beberapa daerah umat Islam ingin melepaskan diri dari kolonialisme yang disebabkan oleh munculnya kesadaran umat Islam akan kekalahan dari Eropa, keinginan untuk belajar kepada Eropa sehingga memunculkan ide pembaharuan, upaya memurnikan ajaran Islam, dan munculnya semangat menghidupkan ilmu pengetahuan. Sikap umat Islam terhadap Barat pada masa ini ada dua, yaitu Zealotisme merupakan sikap menutup diri secara fanatic terhadap barat dan ingin kembali secara introvert kepada praktik Islam masa lalu. Sikap ini memunculkan gerakan pemurnian Islam, seperti gerakan wahabiyah. Sikap kedua yaitu Herodianisme merupakan sikap membuka pintu secara selektif terhadap pengaruh Barat. Adapun beberapa tokoh yang dianggap pembaharu, yaitu Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Hassan al-Banna, dan Abul A’la al-Maududy. Pada masa ini, dilakukan upaya-upaya umum di bidang ushul fiqh, seperti mempelajari karya ulama sebelumnya dengan menyeleksi yang dianggap valid, mendialogkan dengan hukum positif, dan melakukan kodifikasi fiqh sebagai qanun (undang-undang).
Dalam ushul fiqh, terdapat beberapa aliran, yaitu aliran mutakallimin, aliran fuqaha, dan aliran muta’akhirin. Aliran mutakallimin pendekatannya berupa doktriner-normatif-deduktif, bahwa setiap muslim harus mendasarkan aktifitas hidupnya pada Al-Qur’an dan Hadits. Aliran fuqaha disebut juga sebagai aliran hanafiyah yang dasar pemikirannya bahwa Al-Qur’an dan Hadits memang mengandung kebenaran yang mutlak, namun pemahaman terhadap nash adalah relatif sesuai dengan sifat manusia. Sedangkan aliran muta’akhirin merupakan gabungan antara aliran mutakallimin dan aliran fuqaha dengan cara mengkombinasikan kedua aliran tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Sodiqin, Ali. 2012. FIQH USHUL FIQH Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Beranda Publising.
Hakim Azhari, Muhammad. 2014. “Sejarah Perkembangan dan Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh”. Diakses dari http://muhammadhakimazhari.blogspot.com/2014/04/sejarah-perkembangan-dan-aliran-aliran.html pada  25 Desember 2019.
Miltasari, Tessa. 2017. “Fiqh Dan Ushul Fiqh Sejarahperkembangan Ushul Fiqh”. Diakses dari http://tessaneechanekonomiislam.blogspot.com/2017/05/makalah-sejarah-perkembangan-ushul-fiqh.html pada 25 Desember 2019.
Wafie, Ahmad. 2014. “Sejarah Dan Aliran Ushul Fiqh”. Diakses dari https://wafieahmad.wordpress.com/2014/06/28/sejarah-dan-aliran-ushul-fiqh/ pada 25 Desember 2019.

No comments:

Post a Comment

Cerdik Edukasi

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PROSES ISLAMISASI DESA SUKAHURIP KEC. PAMARICAN KAB. CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT

  SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PROSES ISLAMISASI DESA SUKAHURIP KEC. PAMARICAN KAB. CIAMIS   PROVINSI JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN A....