Wednesday, May 6, 2020

MAKALAH AKAD WADIAH FIQH MUAMALAH



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Muamalah merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluannya sehari-hari yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling memahami antara penjual dan pembeli, untuk saling tolong menolong (ta’awul), serta untuk mempererat silaturahmi karena merupakan proses ta’aruf (perkenalan). Namun dari beberapa tujuan muamalat tersebut, tidak sepenuhnya terlaksana. Masih banyak masalah-masalah yang terjadi karena proses muamalat tersebut. Diantaranya masih banyak orang yang dirugikan dalam suatu proses muamalat tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing, sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu. Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.
Pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah memiliki maksud yaitu bahwa kita selaku umat muslim hendaknya mengetahui apa-apa yang bersangkutan dengan muamalah. Seperti dalam rukun muamalat-jual beli harus ada akad (ijab dan qabul). Dalam akad muamalat terdapat beberapa transaksi atau akad yang ada, diantarannya adalah akad Al-Wadi’ah, akad Al-Wakalah, dan Al-Kafalah, dsb. Dalam hal ini pemakalah mencoba menjelaskan salah satu bagian dari mumalat tersebut yaitu akad tentang Wadi’ah (titipan).

1.2    Rumusan Masalah
1.      Apakah definisi Wadi’ah?
2.      Bagaimana dasar hukum Wadi’ah?
3.      Bagaimana rukun Wadi’ah?
4.      Bagaimana pembagian Wadi’ah?
5.      Bagaimana Status dan Tata cara Penjagaan barang dalam Akad Wadi’ah?
6.      Sebab Terputusnya Akad Wadi’ah?
7.      Bagaimana penerapan Wadi’ah dalam Perbankan Syari’ah?
8.      Bagaimana Akad Wadiah pada Era Kontemporer?

1.3  Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1.         Mencoba mengedepankan sebuah topik salah satu akad dalam fiqh muamalah yaitu Wadi’ah (titipan).
2.         Mengetahui tata cara pelaksanaan akad Wadi’ah.
3.         Dapat memahami proses pelaksanaan akad Wadi’ah. Dan,
4.         Tentunya sebagai tugas bagi mahasiswa guna mencari, mempelajari
dan memahami fiqh muamalah khususnya tentang akad wadi’ah.


                      BAB II
PEMBAHASAN
2.1     Pengertian Wadi’ah
Secara etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi’ah memiliki bentuk masdar dari fi’il madi wada’a yang dapat  diartikan sebagai  meninggalkan atau meletakan. Yaitu meletakan sesuatu  kepada orang lain untuk dijaga dan dipelihara. Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan. Secara terminologi wadi’ah menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh :
a.       Ulama Hanafiyah :
تسليط الغير على حفظ ماله
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, (baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat)”
b.      Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) :
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”
c.       Secara harfiah, wadi’ah ialah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga dan memelihara harta atau barangnya  dengan cara terang-terangan  ataupun dengan isyarat yang semakna dengan itu.
d.      Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang. Sedangkan secara terminologi wadi’ah ialah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga dan memelihara harta atau barangnya  dengan cara terang-terangan  ataupun dengan isyarat yang semakna dengan itu.
 Secara lazim titipan adalah murni akad tolong-menolong. Dimana dengan alasan tertentu pemilik harta memberikan amanah kepada pihak lain untuk menjaga dan memelihara hartanya. Seseorang yang memiliki harta dan berkeinginan untuk menitipkan hartanya kepada orang lain bukan untuk dikuasai, namun harta tersebut untuk dipelihara dan dijaga karena ada suatu hal dan hal lain yang menjadi sebab harta tersebut dititipkan.  Tidak ada ketentuan mengenai alasan kenapa akad wadiah harus dilakukan. Tetapi yang pasti seseorang mempunyai hak penuh atas harta untuk dititipkan kepada orang lain, bagi orang yang merima barang yang dititipkan bisa menerima ataupun menolaknya.
Menurut pendapat yang dianggap paling shahih, dalam wadi’ah tidak diisyaratkan mengucapkan qobul (kalimat menerima) dari penerimaan titipan. Akan tetapi cukup dengan menerima barang  yang ditirpkan  oleh pemilik barang tersebut. Disamping itu, kedua belah pihak dapat membatalkan akad perjanjian kapan  saja. Penerima titipan bisa saja mengembalikan barang titipan sewaktu-waktu dan pihak yang mentitipkan barang bisa mengambilnya sewaktu-waktu pula.
Dengan demikian, dalam akad wadi’ah keberadaan orang yang mempunyai harta tidak memeliki kepentingan apapun dari harta yang dia titipkan , terkecuali semata-mata agar harta yang dititipkanya dapat terjaga dengan aman dan baik. Demikin juga pada orang yang ditipkan harta, pada dasarnya tidak boleh menyalahgunakan harta yang ditipkan pemilik kepadanya.
2.2    Landasan Hukum Wadi’ah
Dalil yang menghadirkan akad ini yaitu Q.S An-Nisa: 58

artinya,
“sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak merimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu  menetapkanya dengan adil. Sungguh, sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh Allah maha mendengar, maha melihat”
Kemudian pada Q.S Al-Baqarah: 283
......للَّهَ اوَلْيَتَّقِ أَمَانَتَهُ اؤْتُمِنَ الَّذِي فَلْيُؤَدِّ.....
artinya “ Dan hendaklah  yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertaqwalah kepada Allah “
Diperkuat juga  dengan hadits Nabi SAW, “ Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Al Irwaa, 5/381).
Ijma’ para ulama  dari zaman dulu sampai sekarang telah menyepakati akad wadi’ah  sangat diperlukan manusia dalam kehidupan muamalah.
2.3   Rukun dan Syarat Akad Wadi’ah
Setiap kegiatan baik dalam rangka ibadah dan muamalam pasti memiliki rukun yang menyertainya. Berikut ini rukun-rukun akad wadiah menurut jumhur ulama:
1.    Mudi, (orang yang menitipkan barang)
2.    Wadii’ (orang yang dititipi barang)
3.    Wadi’ah ( barang yang dititipkan)
4.    Sighat titipan (ijab-qobul)
Menurut ulama hanafiah rukun wadi’ah hanya ada satu yaitu adanya ijab qobul (sighat), sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan hambali memiliki tambahan syarat  ialah barang tersebut harus memiliki nilai atau qimah sehingga dapat dipandang sebagai maal.
Syarat-syarat Wadi’ah
1.    Syarat yang terkait penitipan dan penerima titipan (aqidain) harus orang yang termasuk ithlaq al-tasharruf (bebas melakukan transaksi). Maka dianggap tidak sah akad wadi’ah apabila yang dilakukan oleh anak kecil, orang tidak waras (gila), dan mahjur alaih bi safih (orang bodoh yang tidak mengerti mata uang). Persyaratan tersebut diperjelas dengn penambahan aqil baligh oleh  jumhur ulama.
Berbeda dengan jumhur ulama, Imam Abu Hanifah boleh bagi anak yang belum baligh melakukan akad wadi’ah, asalkan mendapatkan  izin dari orang tua atau walinya.
2.    Syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek akad wadi’ah harus muhtaramah, dianggap mulya oleh syara’. Meskipun barang tersebut tidak memiliki nilai jual. Disamping itu barang yang dititipkan juga harus diketahui indentitasnya dan bisa dikuasai untuk dipelihara.
2.4    Jenis-jenis Wadi’ah
1.        Wadi’ah yad al-amanah, yaitu titipan yang bersifat amanah belaka. Kedua pihak (penitip dan yang dititipi) melakukan kesepakatan bahwa barang yang dititipkan tidak digunakan dalam hal apapun oleh pika yang dititipi. Pihak yang diberi amanah hanya menjaga keberadaan harta yang dititi tersebut.  Dalam kondisi yang seperti ini tidak ada kewajiban bagi orang yang dititipi untuk menanggung kerugian jika barang titipan rusak, terkecuali ada unsur kesengajaan atau karena kelalaian.
2.        Wadiah yad al-dhamanah, akad titipan dimana pihak yang dititipi harus menanggung kerugian. Akad wadi’ah pada dasarnya bersifat amanah. Namun, saja bisa berubah menjadi dhamanah dengan sebab-sebab berikut ini;
a.         Barang tidak dipelihara dengan baik oleh penerima titipan. Apabila seseorang merusak barang titipan, dan pihak yang dititipi tahu dan tidak berusaha untuk mencegah hal tersebut padahal ia mampu, maka pihak yang dititipi wajib menanggung kerugian.
b.         Barang titipan kemudian dititipkan kepada orang lain yang tidak termasuk keluarga deket dan tidak dibawah tanggung jawabnya.
c.         Barang titipan tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang menerima titipan. Dalam hal ini ulama fiqh sepakat bahwa orang yang dititpi barang apabila orang tersebut menggunakan barang titipan, maka orang yang dititpi wajib membayar ganti rugi, sekalipun kerusakan tersebut disebabkan oleh faktor lain diluar kemampuanya.
d.        Orang yang dititipi barang itu mencampurkan barang titipan dengan harta pribadinya, sehingga sulit untuk dipisahkan. Jumhur ulama sepakat  bahwa apabila pihak yang dititipi barang  mencampur barang titipan dengan harta milik pribadinya, semenstara barang titipan  sulit untuk dipisahkan, maka pemilik berhak untuk menuntut ganti rugi barang tersebut.
e.         Penerima barang titipan melanggar syarat-syarat yang telah disepakati. Misalnya, ketika akad wadi’ah dilaksanakan, kedua belah pihak  sepakat bahwa barang yang dititipkan ditaruh dibrankas. Akan tetapi pihak penerima titipan tidak melakukannya. Maka jika barang titipan rusak atau hilang pemilik barang berhak menuntut ganti rugi.
Maka, berdasarkan beberapa sebab di atas, wadi’ah yang semula merupakan amanah berubah menjadi dhamanah. Dimana pihak yang dititipi punya tanggungjawab penuh terhadap keberadaan harta titipan tersebut. Berawal dari logika seperti inilah akad wadi’ah di terapkan pada Lembaga Keuangan Syariah
2.5    Status dan Tata cara Penjagaan barang dalam Akad Wadi’ah
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penjagaan barang dapat dilakukan oleh orang dalam tanggunganya semisal istri, anak, pembantu ataupun orang yang diberi upah untuk menjaga barang tersebut. Namun barang tersebut tidak diperbolehkan  untuk ditipi kepada keluarga yang baru semisal istri yang baru dinikahi, pembantu atau pegawai yang baru saja diterima dan menjadi karyawan.
Adapun menurut pendapat  ulama Syafi’iyyah  tentang penjaggaan barang ialah barang tersebut harus dijaga sendiri oleh pihak yang diberi amanah, pihak tersebut tidak diperkenankan untuk meninggalkan barang tersebut kepada siapapun bahkan kepada istri, anak kecuali ada izin dari pihak penitip.
Seluruh Ulama Madzhab setuju bahwa barang yang dititipkan merupakan sebuah ibadah sunnah bagi pihak yang dititipi, dan mendapat pahala apabila barang tersebut di jaga dan dipelihara dengan baik.
2.6   Terputusnya Akad Wadi’ah
Ada beberapa kondisi yang menjadi penyebab terputusnya wadi’ah yaitu;
1.    Pengembalian barang yang dititipi kepada pihak penitip baik diminta oleh penitip ataupun tidak.
2.    Meninggalnya pihak yang dititipi barang/harta atau penitip barang/harta.
3. Salah satu dari pihak penitip atau penerima dititipan dalam keadaan koma yang berkepanjangan,  menjadi tidak waras (gila), maupun dalam keadaan stress berat dalam beberapa waktu dan hal ini merusak akad titipan.
4.    Terjadinya ‘hajr’ atau legal restriction yang terjadi pada penitip seperti hilang kompetensi, dan pada pihak yang dititipi mengalami kebangkrutan atau pailit, maka akad tititpan tersebut putus.
2.7    Wadiah Dalam Praktek Perbankan Syariah
Wadiah terkait dengan praktek dalam perbankan pada awalnya hanyalah sebuah akad amanah yang sederhana dikemas sedemikian rupa oleh perbankan dalam rangka mengakomodasi uang tabungan nasabah yang ada dalam bank. Dengan alasan untuk menghindari riba akad ini digunakan untuk mengakomodasi nasabah yang berkeinginan uangnya aman. Bank siap menerima titipan uang.
Mengingat salah satu fungsi perbankan adalah lembaga mediasi permodalan. Tentunya uang yang ada di dalam bank tidak di diamkan begitu saja, namun juga digunakan dengan tujuan investasi atau pembiayaan, yang secara otomatis bercampur dengan uang milik bank yang lain. Karena dengan praktek ini, pihak bank mendapatkan keuntungan, maka bank dengan sukarela memberikan sebagian keuntungannya kepada nasabah. Titik Inilah yang disebut munculnya perkembangan dalam akad wadi’ah
Perbankan dapat mempraktekkan akad wadi’ah ini khususnya dalam rangka untuk melakukan penghimpunan dana masyarakat (funding). Berdasarkan akad wadi’ah ini jenis produk perbankan yang dapat diaplikasikan diantaranya:
1.    Giro wadi’ah bank. Yang dapat diartikan sebagai bentuk simpanan yang penarikannya dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan yang didasarkan pada prinsip titipan. Dalam giro wadi’ah nasabah tidak mendapatkan keuntungan berupa bunga, melainkan bonus yang nilainya tidak boleh diperjanjikan di awal akad. Sesuai dengan fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro wadi’ah yang dapat dipraktekkan oleh perbankan syari’ah adalah giro wadi’ah yang memenuhi persyaratan bersifat titipan, titipan bisa diambil kapan saja (on call), tidak ada imbalan yang diisyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Selanjutnya bank syariah memberlakukan giro sebagai titipan wadi’ah yad al-dlamanah. Dana titipan ini dapat dipergunakan oleh bank sebagai penerimaan titipan selama dana tersebut mengendap di bank. Tetapi bank punya kewajiban untuk membayarnya setiap saat jika nasabah mengambil titipan tersebut. Sebagai imbalan dari titipan yang dimanfaatkan oleh bank syariah, nasabah dapat menerima imbal jasa dari pemanfaatan dana yang mengendap di bank dalam bentuk bonus. Akan tetapi bonus yang akan diterima kan oleh pihak bank kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan di awal titik pihak nasabah harus memahami bahwa bonus yang kemungkinan diterima adalah hak penuh pihak bank untuk memberikannya atau tidak.

2.         Tabungan wadiah yad al-dlomanah, adalah rekening tabungan yang memberlakukan ketentuan dapat ditarik setiap saat dan bukan tabungan berjangka. Rekening tabungan seperti ini pada dasarnya hampir sama dengan giro yang dapat ditarik setiap saat. Hal yang membedakannya hanya pada mekanisme penarikannya saja. Sedangkan kalau dilihat dari jenis simpanan nya sama dengan giro, maka aturan tentang pemberian bonus atau imbalan lainnya pun sama dengan rekening giro.
Skema Akad Wadiah al-dlomanah:

 
Kalau dari uang yang diputarkan pada akad wadiah dhamanah dan bank mendapatkan keuntungan apakah keuntungan itu harus dibagikan? Nah, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya kalau pada akad wadiah, bank tidak memiliki hak untuk memberikan bonus. Tetapi, umumnya Bank memberikan keuntungan tersebut sebagai hadiah/bonus untuk nasabah secara sukarela dan dalam islam hal tersebut diperbolehkan.
Bila dilihat dari skema di atas maka barang/aset yang ditipkan diputar oleh bank pada suatu usaha yang kemudian dari usaha tersebut menghasilkan keuntungan yang diperuntukan khusus untuk bank. Keputusan bank untuk memberikan bonus atau tidak maka itu tergantung dari kebijakan bank itu
3.         Di samping itu, perbankan juga dapat mempraktekkan wad’iah Yad Al-amanah dengan jalan pemberian jasa safe deposit box. Dimana nasabah yang membutuhkan jasa ini akan mendapatkan fasilitas penyimpanan barang berharga mereka dalam bentuk kotak penyimpanan dengan inisial tertentu, menyimpan dan memegang kunci sendiri. Pihak bank akan menerima upah titipan yang ditentukan dan secara keseluruhan akan menjaga keamanan lingkungan dan ruang penyimpanan melalui prosedur administrasi keluar dan masuk ruang penyimpanan serta pengawasan dari karyawan yang ditunjuk.
Skema Akad Wadiah Al-amanah:
 
 
Dari skema tersebut, akad wadiah amanah tergambar pada proses yang lebih sederhana. Yaitu pihak penitip akan memberikan barang untuk dititipkan. Namun, sebagai jasa atas penyimpanan maka penitip memberikan bayaran. Ini biasanya terjadi di Bank Syariah pada produk save deposit box.
 
2.8   Akad Wadiah pada Era Kontemporer
Pada era kontemporer saat ini, akad wadiah tidak hanya diterapkan pada produk bank yang sifatnya tabungan tetapi juga terhadap produk yang lain yang memudahkan seseorang untuk bertransaksi. Apakah produk tersebut? Produk tersebut adalah e-money. Secara sederhana, e-money adalah sistem uang elektronik yang mengkonversi uang kertas yang dimiliki masuk ke dalam sistem e-money yang berbentuk kartu. Siapa yang tidak tahu tentang kartu multifungsi ini.
Kartu yang sudah lazim di kebanyakan orang terutama bagi mereka yang tidak terbiasa membawa uang tunai terlalu banyak. Mereka akan mengkonversi uang mereka ke dalam kartu  e-money. Terlebih buat mereka yang berkendara menggunakan transportasi umum seperti kereta yang tentunya akan lebih efisien ketika menggunakan e-money. Namun, apakah kartu e-money itu diperbolehkan?
Terlepas dari pro-kontra yang ada terkait penggunaan kartu e-money, Ustadz Oni Sahroni dalam bukunya Fikih Muamalah Kontemporer: Membahas Ekonomi Kekinian menjelaskan bahwa kartu e-money secara syariah diperbolehkan. Hal ini juga mengacu pada fatwa DSN No.116/DSN-MUI/IX/2017 tentang uang elektronik syariah karena dilihat dari maslahat yang hadir dengan adanya kartu e-money.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.
Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang) . Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah.
3.2 Saran
Dengan segala keterbatasan ilmu dan sumber-sumber yang kami pelajari, kami dari tim penyusun mengakui banyaknya kekurangan dan ketidak sempurnaan kami dalam penyusunan makalah ini. Karenanya, kami mohon maaf dengan kerendahan hati senantiasa kami harapkan kritik dan saran dari para rekan mahasiswa, dosen dan para ustadz guna menunjang perkembangan pembuatan makalah kami ke depan, selanjutnya semua kami serahkan kepada Allah SWT selaku pemilik ilmu ini dan Dia-lah dzat yang Maha Benar lagi Maha Sempurna. Semoga tugas makalah ini dicatat sebagai amal baik kami oleh Allah Swt. Sebagai amal shalih dan bermanfaat. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Yazid. 2009. Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syari’ah. Yogyakarta: Logung Pustaka
Herdianto, Dendy. Akad Wadiah dalam Ekonomi Islam : Pengertian, Dalil, Rukun dan Contoh. Diakses dari https://qazwa.id/blog/akad-wadiah/ pada 23 Maret 2020.
Setyaningsih, Sulis. 2018. Pengertian Muamalah, Beserta Prinsip dan Penerapannya dalam Berbisnis. Diakses dari https://www.wajibbaca.com/2018/05/muamalah-adalah.html pada 23 Maret 2020.
____________.2016. Pengertian, Macam dan Aplikasi Wadiah dalam perbankan. Diakses dari http://seruansantri.blogspot.com/2016/11/makalah-wadiah-pengertian-macam-dan.html pada 21 maret 2020.

2 comments:

Cerdik Edukasi

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PROSES ISLAMISASI DESA SUKAHURIP KEC. PAMARICAN KAB. CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT

  SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PROSES ISLAMISASI DESA SUKAHURIP KEC. PAMARICAN KAB. CIAMIS   PROVINSI JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN A....