Bagi kalian yang sedang mengkaji mngenai perbankan syariah sudah tentu akan ada pembahasan mengenai prinsip dasar bank syariah. Hal ini merupakan yang menjadi dasar bagi perbankan syariah dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Di sini akan di jelaskan mengenai LKS dan transaski yang di haramkan dalam perbankan syariah.
A. Definisi Lembaga Keuangan Syariah
Dewan Syariah Nasional (DSN) menerjemahkan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai lembaga keuangan yang produk keuangan syariah dan yang mendapat izin operasional sebagai lembaga keuangan syariah (DSN-MUI, 2003). Hal ini menegaskan LKS harus harus memenuhi dua unsur, yaitu unsur kesesuaian dengan syariah Islam dan unsur legalitas operasi sebagai lembaga keuangan.
Unsur kesesuaian dengan syariah Islam secara tersentralisasi diatur oleh DSN, yang diwujudkan dalam berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Unsur legalitas operasi sebagai lembaga keuangan, diatur oleh berbagai institusi yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin operasi. yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kantor Menteri Koperasi sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi koperasi termasuk BMT.
Prinsip hukum muamalah yang dirumuskan oleh mayoritas ulama yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip Mubah yaitu, Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh Alquran dan Sunah Rasul
2. Prinsip Sukarela, manyatakan bahwa muamalah dilakukan atas dasar sukarela dan tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
3. Prinsip mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat, yaitu muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat dalam hidup masyarakat.
4. Prinsip Keadilan, Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsurunsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. (Madjid, 2018)
LKS dalam melaksanakan transaksi muamalah dibangun atas asas maslahat. Jika terdapat maslahah, maka sangat dimungkinkan transaksi tersebut diperbolehkan. Seperti halnya diperbolehkannya akad istishna, padahal ia merupakan jual beli/bai‘ al-ma’dûm (obyek tidak ada saat akad), karena adanya kebutuhan dan maslahah yang akan didapatkan, tidak menimbulkan perselisihan dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat. (Budiono, 2017)
Dalam berbagai literatur fikih terkait pengambilan keuntungan, prinsip-prinsip berikut merupakan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan yaitu:
1. Antaraddim minkum (rela sama rela),
2. La tazhlimuna wa la tuzhlamun (tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi), berbagai transaksi seperti riba, gharar, tadlis adalah terlarang.
3. Al kharaj bi al-dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya),
4. Al ghunmu bi al ghurmu (untung muncul bersama risiko), (Mutia & Musfirah, 2017)
Abu Ishaq al-Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, Kelima tujuan hukum Islam tersebut di dalam literatur disebut al-maqasid al khamsah atau al-maqasid al-shari’ah yakni:
a. Hifdz Ad-Din atau memelihara agama:“...Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya....” (QS. Asy Syura’ ayat 13).
b. Hifdz An-Nafs atau memelihara jiwa didasarkan pada firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah ayat 178–179.
c. Hifdz Al’Aql atau memelihara akal manusia. Didasarkan pada perintah Allah kepada manusia untuk berpikir dan memperhatikan langit dan bumi yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah Swt. terdapat dalam surat QS. Al-Baqarah ayat 164.
d. Hifdz An-Nasb atau memelihara keturunan didasarkan pada disyariatkannya pernikahan dan diharamkannya hal-hal yang dapat membawa zina, siapa yang tidak boleh dikawini, bcara perkawinan itu dilakukan, dan syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah. Dijelaskan dalam Alquran QS. An-Nisa: 3–4.
e. Hifdz Al-Maal atau memelihara harta didasarkan pada perintah Allah Swt. untuk tidak mencari harta dengan cara yang batil. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran QS. An-Nisa: 29–32. (Yumni, 2016)
Pemahaman terhadap aspek prinsip syariah sangat penting karena merupakan aspek utama yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional. Sehingga, prinsip dasar bank syariah dijadikan sebagai landasan untuk memahami berbagai transaksi yang dilarang dalam agama Islam terkait dengan aktivitas ekonomi antar individu. (Yaya, Erlangga Martawireja, & Abdurrahim, 2014)
B. Larangan terhadap Transaksi yang Mengandung Barang atau Jasa yang Diharamkan
Larangan terhadap seuatu yang di haramkan sudah secara eksplisit ada di dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad saw. Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat cukup banyak variasi makanan, minuman, dan tindakan yang secara substansi sama dengan barang dan jasa yang secara eksplisit dilarang Alquran dan Assunah. Dalam hal ini, mayoritas ulama sepakat untuk menerapkan hukum yang sama, yaitu mengharamkan segala sesuatu yang memiliki substansi sama dengan zat yang diharamkan dalam Alquran dan Sunah Nabi.
Bagi industri perbankan syariah, pelarangan terhadap transaksi yang haram zatnya tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan memberikan pembiayaan yang terkait dengan aktivitas pengadaan jasa, produksi makanan, minuman, dan bahan konsumsi lain yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam pemberian pembiayaan, bank syariah dituntut untuk selalu memastikan kehalalan jenis usaha yang dibantu pembiayaannya oleh bank syariah. Dengan demikian, pada suatu bank syariah tidak akan ditemui adanya pembiayaan untuk usaha yang bergerak di bidang peternakan babi, minuman keras, ataupun bisnis pornografi dan lainnya yang diharamkan.(Yaya et al., 2014)
C. Larangan terhadap Transaksi yang Diharamkan Sistem dan Prosedur Perolehan Keuntungannya
Agama Islam juga melarang transaksi yang diharamkan sistem dan prosedur perolehan keuntungannya, yaitu:
1. Tadlis (ketidaktahuan satu pihak)
Merupakan transaksi yang mengandung suatu hal pokok yang tidak diketahui oleh salah satu pihak (unknown to one party). Tadlis juga disebut dengan tindakan menipu untuk mendapat keuntungan dari ketidaktahuan orang lain. Landasan syar’i larangan ini adalah: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi melewati setumpuk tepung gandum yang dijual, lalu Beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut ternyata bagian dalamnya basah, Beliau bertanya, “Apa ini hai penjual tepung?”, ia menjawab, “Terkena hujan wahai Rasulullah”, lalu Beliau bersabda, “Mengapa engkau tidak meletakkannya di bagian atas sehingga orang dapat melihatnya. Sesungguhnya orang yang menipu tidak termasuk golonganku”. (HR. Muslim). Tadlis dapat terjadi pada salah satu dari empat hal pokok dalam hal jual beli berikut.
a. Kuantitas, Salah satu pihak (penjual) misalnya mengurangi takaran barang yang telah disepakati antara penjual dan pembeli. Pengurangan takaran, dalam hal ini, hanya diketahui oleh si penjual.
b. Kualitas, Dalam hal ini, penjual sengaja tidak memberi tahu cacat barang tersebut agar dapat menjual dengan harga tinggi atau lebih tinggi dari sebenarnya. Transaksi ini diharamkan karena sekiranya pembeli tahu, maka ia tidak akan rela terhadap transaksi tersebut.
c. Harga, Praktik tadlis pada harga dilakukan penjual dengan memanfaatkan ketidaktahuan pembeli tentang harga pasar, sehingga dapat menjual produknya dengan harga tinggi.
d. Waktu Penyerahan, Contoh praktik tadlis dalam hal waktu penyerahan adalah janji penjual bisa menyelesaikan proyek dalam jangka waktu 1 bulan, padahal penjual tersebut memahami bahwa pada waktu yang disepakati tersebut apa yang dijanjikan tidak akan dapat dipenuhi.
Tadlis juga dapat terjadi pada transksi sewa. Sebagai contoh, pemberi kerja yang menyewa tenaga pekerja sengaja tidak menyebutkan bayaran yang akan diterima pekerja dengan pertimbangan si pekerja akan keberatan bekerja karena tidak sesuai dengan harga pasar. Setelah pekerja menyelesaikan pekerjaannya, barulah bayaran disampaikan dan pekerja tidak memiliki pilihan selain menerima bayaran yang ditetapkan pemberi kerja.
Untuk menghindari praktik tadlis dalam perbankan syariah, semua transaksi yang dilakukan oleh bank syariah, harus dilakukan secara transparan. Segala hal yang pokok dalam jual beli barang atau sewa jasa harus terinformasikan kepada kedua belah pihak dan dijelaskan pada akad yang disepakati kedua belah pihak.
2. Gharar (ketidaktahuan kedua pihak)
Dalam gharar ketiadaan informasi terjadi pada kedua belah pihak yang bertransaksi jual beli. Landasan syar’i larangan transaksi gharar adalah: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi melarang jual beli hashah (jual beli tanah yang menentukan ukurannya sejauh lemparan batu) dan juga melarang jual beli gharar. (HR. Muslim). Gharar dapat terjadi pada salah satu dari empat hal pokok dalam jual beli berikut.
a. Kuantitas, misalnya adalah pembelian seluruh hasil panen ketika pohon atau tanaman belum menunjukkan hasilnya masih dalam keadaan bunga atau buah yang masih muda.
b. Kualitas, misalnya adalah penjualan sapi yang masih dalam perut induknya. Kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual, tidak mengetahui bagaimana kualitas sapi itu nantinya ketika lahir.
c. Harga, terjadi jika kedua belah pihak tidak pasti mengenai harga yang dipakai dalam jual beli yang disepakati. Sebagai contoh adalah jual beli dengan kesepakatan harga berikut, “sekiranya barang ini lunas dalam jangka waktu di bawah satu tahun, maka marginnya adalah 20%, tapi seandainya lunas antara satu hingga dua tahun, maka marginnya otomatis menjadi 40%.”
d.Waktu Penyerahan, terjadi jika kedua belah pihak tidak tahu kapan barang akan diserahterimakan. Sebagai contoh penjualan mobil yang sedang hilang dicuri dengan akad pembeli membayar seharga tertentu dan berhak atas mobil yang sedang hilang dilarikan pencuri.
Pelarangan jual beli di atas, selain memiliki dasar syariatnya (dalil naqli), juga didasarkan atas kaidah fikih terkait dengan keharusan memelihara nilai keadilan serta menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. Perbankan syariah wajib menghindari transaksi yang dilarang ini.
3. Ikhtikar (rekayasa pasar dalam pasokan)
Ikhtikar, yaitu menahan barang yang merupakan hajat orang banyak dengan tidak menjualnya agar permintaan bertambah dan harga menjadi naik, saat itulah kemudian ia menjualnya.. Pelarangan tindakan ini didasarkan pada dalil naqli berikut. Diriwayatkan dari Mu’amar bin Abdullah bahwa Nabi bersabda: “Orang yang melakukan ikhtikar berdosa”. (HR. Muslim).
Pelarangan juga didasarkan atas kaidah fikih terkait dengan keharusan memelihara nilai keadilan serta menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
4. Bai’ najasy (rekayasa pasar dalam permintaan)
Bai’ najasy adalah tindakan menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk akan naik. Landasan syar’i larangan transaksi Bai’ Najasy adalah: Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Rasulullah melarang najasy”. (HR. Bukhari-Muslim).
Upaya menciptakan permintaan palsu antara lain dengan:
a. penyebaran isu yang dapat menarik orang lain untuk membeli barang,
b. melakukan order pembelian semu untuk memunculkan efek psikologis orang lain untuk membeli dan bersaing dalam harga,
c. melakukan pembelian pancingan sehingga tercipta sentimen pasar. Bila harga sudah naik sampai level yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli.
Bai’ najasy dapat dianalogikan dengan praktik “menggoreng” saham di pasar modal. Pada saat harga saham yang “digoreng” jauh melampaui nilai fundamentalnya, spekulan saham yang terlibat akan melepas saham yang dimiliki untuk mendapat keuntungan yang maksimal. Di lain pihak, investor yang terpancing ikut membeli saham tersebut akan mengalami kerugian karena dalam waktu singkat saham yang dibeli akan turun harganya.
5. Maysir (judi)
Ulama dan fuqaha mendefinisikan maysir (judi atau gambling) sebagai sebuah permainan di mana satu pihak akan memperoleh keuntungan sementara pihak lainnya akan menderita kerugian (Ibnu Qudama: Al Mughni, 13/408). Landasan syar’i larangan transaksi Maysir adalah Alquran surah Al-Maidah ayat 90–91:
Contoh penerapan larangan maysir pada keuangan syariah adalah larangan untuk memberikan pembiayaan pada bisnis yang mengandung unsur judi. Contoh penerapan lain adalah larangan pada bank untuk menjadikan uang sebagai instrumen spekulasi dan mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan nilai tukar mata uang.
6. Riba
Secara bahasa, riba bermakna tambahan, tumbuh, atau membesar. Dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil (Muhammad Syafii Antoni, 2009:37) Didalam Al Qur’an surah Ali Imran ayat 130 diterangkan bahwa “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”Ayat diatas adalah sebuah perintah tetapi perintahnya adalah untuk meninggalkan (perintah yang melarang melakukan sesuatu), Di dalam Ushul fiqh larangan terhadap sesuatu adalah perintah untuk berhenti mengerjakan sesuatu tersebut. (Budiono, 2017)
Dalam hal ini larangan memakan riba berarti perintah untuk berhenti mengerjakan riba. Hukum asal larangan adalah pengharaman (Mohammed Hudribiq, 1988:199). Riba adalah bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam dan bersinggungan langsung dengan praktik perbankan konvensional. Pada akhir tahun 2003, MUI secara resmi menfatwakan haramnya bunga bank konvensional. Para ahli rakyu (ijtihad) dari kalangan Syiah berpendapat bahwa alasan riba diharamkan oleh Allah Swt. dan Nabi Muhammad saw. adalah agar orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia (Ja’far AshShadiq dari kalangan Syiah).
Larangan riba dalam sejarah Islam dilakukan secara bertahap. Pola ini juga terjadi pada fase pelarangan khamar (minuman yang memabukkan) yang juga bertahap.
· Fase pertama pelarangan riba dimulai dengan turunnya firman Allah Swt. dalam Q.S. Ar- Rum ayat 39, di ayat tersebut riba di bandingkan dengan zakat.
· Fase kedua dan berikutnya terjadi setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Fase kedua ditandai ketika Allah Swt. mengabarkan kepada umat Islam melalui Alquran larangan riba yang diberlakukan pada umat terdahulu, yaitu kaum Yahudi melalui Q.S. An-Nisa ayat 160–161. Halawani (2015) menyatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, apakah pada saat itu Riba sudah dinyatakan dilarang atau belum. Satu pendapat menyatakan bahwa ayat tersebut tidak hanya menceritakan tentang larangan riba pada kaum Yahudi, melainkan juga pemberlakuan riba pada umat Islam. Adapun sebagian lagi menyatakan bahwa ayat itu hanya mengisahkan hukum larangan riba yang pernah diberlakukan pada kaum Yahudi.
· Fase ketiga adalah ketika diturunkannya Q.S. Ali-Imran ayat 130 yang melarang orang yang beriman memakan riba yang berlipat.
· Fase keempat adalah fase di mana riba diharamkan secara keseluruhan tanpa membedakan besar tambahan yang diberlakukan dalam riba tersebut.
Hal ini tertuang pada Q.S. Al-Baqarah ayat 275–276.
Kemudian, pada Q.S. Al-Baqarah ayat 278–279 cukup jelas disebutkan bahwa larangan riba tidak memperhatikan besar kecilnya tambahan yang diberlakukan. Dengan demikian, baik yang berlipat maupun yang tidak berlipat juga diharamkan oleh Allah Swt. Adapun sumber hukum yang diacu dalam menentukan kriteria riba adalah hadis Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Samit yang terdapat dalam Abu Daud hadis 3343 dan dalam At Tirmidzi hadis 2819 dengan bunyi sebagai berikut.
Riba timbul dalam transaksi utang piutang dan transaksi jual beli barang ribawi. Riba dalam transaksi utang piutang terbagi atas dua kategori, yaitu riba qardh dan riba jahiliyyah. Riba qardh adalah kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang, sedangkan riba jahiliyyah adalah riba yang timbul karena peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Adapun riba dalam transaksi jual beli terbagi dua, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah riba yang timbul karena pertukaran antarbarang ribawi yang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Riba nasi’ah adalah riba yang timbul karena penangguhan penyerahan atau penerimaan barang yang dipertukarkan dengan jenis barang lainnya.(Budiantoro, Sasmita, & Widiastuti, 2018)
Hukum riba berlaku pada transaksi antarbarang ribawi dengan jenis yang sama. Barang ribawi dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok mata uang dan kelompok makanan pokok.
1. Kelompok mata uang dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu jenis emas dan perak secara khusus, baik dalam bentuk mata uang maupun dalam bentuk lainnya. Contoh riba fadhl dalam hal ini adalah jika A yang sedang membutuhkan uang pecahan bersedia membeli 10 lembar uang Rp10.000 dengan membayar sebesar Rp102.000 kepada B. Kelebihan Rp2.000 untuk B dapat dikatakan sebagai riba fadhl yang dilarang sebagaimana dilarangnya transaksi seperti ini pada emas di zaman Rasulullah. Adapun contoh riba nasi’ah dalam mata uang adalah jual beli mata uang asing yang penyerahannya tidak dilakukan dalam waktu bersamaan. Sebagai contoh, A membeli 100 yen Jepang pada B yang mana A menerima uang Yen tersebut saat itu juga, sedangkan penyerahan uang rupiah dilakukan beberapa hari, Minggu, atau bulan kemudian. Transaksi ini juga dilarang karena adanya penundaan waktu bisa menyebabkan perbedaan harga pasar dalam jual beli mata uang, sehingga dapat mengakibatkan salah satu pihak menjadi diuntungkan dan pihak lain dirugikan.
2. Kelompok bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Contoh riba fadhl pada kelompok bahan makanan pokok adalah peminjaman 10 kg beras oleh si A kepada si B, dengan persyaratan pengembalian lebih dari 10 kg kepada si B di kemudian hari. Adapun contoh riba nasi’ah pada bahan makanan pokok adalah penjualan 10 kg beras milik Y dengan 20 kg biji jagung milik Z. Riba nasi’ah dalam transaksi ini terjadi jika salah satu pihak telah menerima barang diinginkannya, sedang pihak lainnya belum menerima karena adanya penundaan waktu penyerahan. Adanya penundaan tersebut berpotensi dirugikannya salah satu pihak karena adanya perubahan nilai tukar barang.
D. Larangan terhadap Transaksi yang Tidak Sah Akadnya
Akad secara bahasa berarti ikatan. Adapun akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan. Hukum fikih menyatakan bahwa akad yang sah harus dipenuhi, sedangkan akad yang tidak sah tidak boleh dipenuhi. Dalam al-quran Q.S. Al-Maidah (5):2 “Hai orang yang beriman. Penuhilah akad-akad itu…”
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keabsahan suatu transaksi haruslah memenuhi rukun-rukun akad. Adapun rukun-rukun akad adalah sebagai berikut.
1. Adanya dua pihak atau lebih yang saling terikat dengan akad. Dipersyaratkan memiliki kemampuan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, jika tidak, akad dianggap tidak sah. Kemampuan tersebut yaitu membedakan yang baik dan yang buruk (sudah baligh dan tidak dalam keadaan tercekal seperti dinyatakan pailit) dan tidak di bawah paksaan.
2. Adanya sesuatu yang diikat dengan akad, yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Adapun syarat barang tersebut dianggap sah bila:
a. Barang tersebut suci atau bila telah terkena najis, bisa disucikan.
b. Barang tersebut bisa digunakan dengan cara yang disyaratkan,
c. Komoditas harus bisa diserahterimakan (contohnya tidak sah menjual barang yang sedang diagunkan).
d. Barang yang dijual harus milik penjual.
e. Bila barang dijual langsung harus diketahui wujudnya, dan bila tidak berada di lokasi, harus diketahui ukuran, jenis, dan kriterianya.
3. Adanya pengucapan akad berupa ungkapan serah terima (ijab kabul). Ijab adalah ungkapan penyerahan kepemilikan oleh pemilik barang, sedangkan kabul adalah ungkapan penerimaan kepemilikan oleh pemilik barang berikutnya.
Selain faktor rukun, akad yang dibuat tidak boleh mengandung unsur ta’alluq dan unsur dua akad untuk satu transaksi (two in one). Ta’alluq adalah dua akad yang saling berkaitan, di mana berlakunya akad 1 bergantung pada akad 2. Sebagai contoh adalah penjualan dengan cara ’inah, yaitu seseorang menjual barang seharga tertentu secara cicilan (misalkan Rp11 juta) kepada orang lain dengan syarat, orang lain tersebut kembali menjual barang tersebut secara tunai (misalkan Rp10 juta).
Transaksi dua akad untuk satu transaksi juga tidak dibenarkan. Hal ini disebabkan karena dapat menimbulkan ketidakpastian terhadap konsekuensi dari akad, misalnya saat transaksi sewa modal (capital lease), yang merupakan transaksi antara dua pihak untuk menyewakan sesuatu barang, terjadi pula transfer kepemilikan barang. Dalam transaksi ini mengandung ketidakjelasan akad mana yang didahulukan, apakah akad sewa atau akad jual beli.
DAFTAR PUSTAKA
Budiantoro, R. A., Sasmita, R. N., & Widiastuti, T. (2018). Sistem Ekonomi (Islam) dan Pelarangan Riba dalam Perspektif Historis. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 1. https://doi.org/10.29040/jiei.v4i1.138
Budiono, A. (2017). PENERAPAN PRINSIP SYARIAH PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH. Law and Justice. https://doi.org/10.23917/laj.v2i1.4337
Hudribiq, Mohammed. 1988. Ushul Fiqh. Dar al Fikr. Beirut.
Karim, Adiwarman. (2004). Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Madjid, S. S. (2018). PRINSIP-PRINSIP (ASAS-ASAS) MUAMALAH. JURNAL HUKUM EKONOMI SYARIAH, 2(1), 27. https://doi.org/10.26618/j-hes.v2i1.1353
Mutia, E., & Musfirah, N. (2017). PENDEKATAN MAQASHID SHARIAH INDEX SEBAGAI PENGUKURAN KINERJA PERBANKAN SYARIAH DI ASIA TENGGARA. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan Indonesia, 14(2), 181–201. https://doi.org/10.21002/jaki.2017.10
Syafii Antoni, Muhammad. 2009. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Gema Insani. Depok Yogyakarta.
Yaya, R., Erlangga Martawireja, A., & Abdurrahim, A. (2014). Akuntansi Perbankan Syariah: Teori dan Praktik Kontemporer (2nd ed.; Em. Sri Suharsi & Rosidah, eds.). Jakarta: Salemba Empat.
Yumni, A. (2016). Kemaslahatan Dalam Konsep Maqashid Al-Syar’Iah. VI(2), 47–57.
No comments:
Post a Comment