BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Dasar Tentang Negara
2.1.1. Pengertian Negara
Istilah
negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing
state (inggris) staat (belanda dan jerman) atau etat (perancis). Secara
terminologi negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu
kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu,
hidup dalam suatu kawasan
dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Secara terminologi, negara diartikan
sebagai organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang memiliki
cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam satu kawasan, dan mempunyai
pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstruktif yang
pada galibnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat: Masyarakat, wilayah, dan
pemerintahan yang berdaulat. Lebih lanjut dari pengertian di atas negara
identik dengan hak dan wewenang.
2.1.2. Tujuan negara
Sebuah organisasi kekuasaan dari
kumpulan orang-orang yang mendiaminya, negara harus memiliki tujuan yang
disepakati bersama. tujuan sebuah negara dapat bermacam-macam antara lain:
1) Bertujuan
untuk memperluas kekuasaan.
2) Bertujuan
menyelenggarakan ketertiban hukum.
3) Bertujuan
untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dalam
tradisi barat pemikiran tentang terbentuknya sebuah negara memiliki tujuan
tertentu sesuai model negara tersebut. Dalam konsep dan ajaran Plato, tujuan
adanya negara adalah untuk memajukan kesusilaan masyarakat sebagai perseorangan
(individu) dan sebagai makhluk sosial.
Dalam islam, seperti yang dikemukakan
oleh Ibnu Arabi, tujuan negara adalah agar manusia bisa menjalankan
kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi pihak-pihak
asing.
Sedangkan dalam konteks negara
Indonesia, tujuan negara adalah untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam pembukaan dan penjelasan
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945..
2.1.3. Unsur-unsur Negara
Suatu negara harus memiliki tiga unsur
penting yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintah. Berikut akan dijelaskan
masing-masing unsur tersebut:
a. Rakyat
Rakyat dalam pengertian keberadaan suatu
negara adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh rasa persamaan dan
bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.
b. Wilayah
Wilayah adalah unsur suatu negara yang
harus terpenuhi karena tidak mungkin ada negara tanpa tanpa ada batas-batas
teritorial yang jelas. Secara umum wilayah suatu negara biasanya mencakup
daratan, perairan, dan udara. Dalam konsep negara modern masing-masing batas
wilayah tersebut diatur dalam perjanjian dan
perundang-undangan internasional.
c. Pemerintah
Pemerintah adalah alat kelengkapan
negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama
didirikannya sebuah negara. Pemerintah, melalui aparat dan alat-alat negara,
yang menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan
perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan warga negara yang
beragam.
d. Pengakuan negara lain
Unsur pengakuan oleh negara lain hanya
bersifat menerangkan tentang adanya negara. Hal ini hanya bersifat deklaratif,
bukan konstitutif, sehingga tidak bersifat mutlak. Ada dua macam pengakuan
suatu negara, yaitu ;
1.
De
facto
Ialah pengakuan atas fakta adanya negara. Pengakuan
ini didasarkan adanya fakta bahwa suatu masyarakat politik telah memenuhi tiga
unsur utama negara (wilayah, rakyat dan pemerintah yang berdaulat).
2.
De
jure
Merupakan
pengakuan akan sahnya suatu negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut
hukum. Dengan memperoleh pengakuan de
jure, maka suatu negara mendapatkan hak-haknya disamping kewajiban sebagai
anggota keluarga bangsa sedunia. Hak dan kewajiban yang dimaksud adalah hak dan
kewajiban untuk bertindak dan diberlakukan sebagai suatu negara yang berdaulat
penuh diantara negara lain.
2.2. Teori Tentang
Terbentuknya Negara
2.2.1. Teori kontrak sosial
(social contract)
Teori kontrak sosial atau teori
perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan
penjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat. Teori ini
meletakkan negara untuk tidak berpotensial menjadi negara tirani, karena
keberlangsungan bersandar pada kontrak-kontrak sosial antara warga negara
dengan lembaga negara. Penganut mazhab
ini antara lain Thimas Hobbes, John Locke, dan J.J.Rousseau.
a. Thomas
Hobbes
(1588-1679)
Menurut Hobbes kehidupan manusia terpisah
dalam dua zaman, yakni keadaan selama belum ada negara atau keadaan alamiah
(status naturalis, state of nature),
dan keadaan setelah ada negara. Bagi Hobbes keadaan alamiah sama sekali bukan
keadaan yang aman dan sejahtera tapi sebaliknya. Menurut Hobbes keadaan alamiah
merupakan suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum, tanpa pemerintah dan
tanpa ikatan-ikatan sosial antar-individu di dalamnya. Karena menurut Hobbes
dibutuhkan kontrak atau perjanjian bersama individu-individu yang tadinya hidup
dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak-hak kodrat yang
dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan yang disebut negara.
b. John
Locke ( 1632-1704)
Berbeda dengan Hobbes, John Locke
melihat keadaan alamiah sebagai suatu keadaan yang damai, penuh komitmen yang
baik, saling tolong-menolong antara individu-individu di dalam sebuah kelompok
masyarakat. Tetapi
ia berpendapat bahwa keadaan ideal tersebut memiliki potensial terjadinya
kekacauan lantaran tidak adanya organisasi dan pemimpin yang dapat mengatur
kehidupan mereka. Namun, menurut Locke penyelenggara negara atau pimpinan
negara harus dibatasi melalui suatu kontra sosial. Dasar pemikiran kontrak
sosial antara negara dan warga negara merupakan suatu peringatan bahwa
kekuasaan pemimpin (penguasa) tidak perah mutlak, tetapi selalu terbatas.
c. Jean
Jacques Rousseau ( 1712-1778)
Berbeda dengan keduanya, menurut Rousseau keberadaan suatu negara bersandar
pada perjanjian warga negara untuk mengikatkan diri dengan suatu pemerintah
yang dilakukan melalui organisasi politik. Menurutnya, pemerintah tidak
memiliki dasar kontraktual, melainkan hanya organisasi politiklah yang dibentuk
melalui kontrak. Melalui pandangan ini, Rousseau dikenal sebagai peletak dasar
bentuk negara yang kedaulatannya berada ditangan rakyat melalui perwakilan
organisasi politik mereka.
2.2.2. Teori Ketuhanan (Teokrasi)
Teori Ketuhanan dikenal dengan istilah doktrin teokratis.
Doktrin ini memiliki pandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki para raja
berasal dari Tuhan. Mereka mendapatkan mandat Tuhan untuk bertahta sebagai
penguasa. Para raja mengklaim sebagai wakil Tuhan di dunia yang
mempertanggungjawabkan kekuasaannya hanya kepada Tuhan, bukan kepada manusia.
Praktik kekuasaan model ini ditentang oleh kalangan monarchomach (penentang
raja). Menurut mereka, raja tiran dapat diturunkan dari mahkotanya, bahkan
dapat dibunuh. Mereka beranggapan bahwa semua kekuasaan adalah milik rakyat.
Dalam sejarah tata negara Islam.
Pandangan teokratis serupa pernah dijalankan oleh raja-raja muslim
sepeninggalan Nabi Muhammad saw. Dengan
mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan atau bayang-bayang Allah di dunia
(khalifatullah fi al-Ard, dzillullah fi al-Ard) raja-raja muslim tersebut
umumnya menjalankan kekuasaan secara tiran. Serupa dengan pada raja-raja di
Eropa Abad Pertengahan, raja-raja muslim merasa tidak harus
mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat, tetapi langsung kepada Allah.
paham teokrasi Islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin politik Islam sebagai
agama sekaligus kekuasaan (dien wa dawlah). Pandangan ini berkembang menjadi
paham dominan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara.
Sama halnya dengan pengalaman kekuasaan teokrasi di Barat, penguasa teokrasi
Islam menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok anti-kerajaan. Dipengaruhi
pemikiran sekuler barat, menurut pandangan modernis muslim, kekuasaan dalam
Islam harus dipertanggungjawabkan baik kepada Allah maupun rakyat.
2.2.3.
Teori Kekuatan
Dapat diartikan bahwa negara terbentuk
karena adanya dominasi negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini,
kekuatan menjadi pembenaran dari terbentuknya sebuah negara. Melalui proses
penaklukan dan pendudukan suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu
dimulailah proses pembentukan suatu negara. Dengan kata lain, terbentuknya
suatu negara karena pertarungan kekuatan dimana sang pemenang memiliki kekuatan
untuk membentuk sebuah negara.
Teori ini berawal dari kajian
antropologi atas pertikaian yang terjadi dikalangan suku-suku primitif, dimana
si pemenang pertikaian menjadi penentu utama kehidupan suku yang dikalahkan.
Bentuk penaklukan yang paling nyata di masa modern adalah penaklukan dalam
bentuk penjajahan bangsa barat atas bangsa-bangsa tmur. Setelah masa penjajahan
berakhir diawal abad ke-20 dijumpai banyak negara-negara baru yang
krmrtdekaannya banyak ditentukan oleh penguasa kolonial. Negara Malaysia dan
Brunei Darussalam bisa dikategorikan ke dalam jenis ini.
2.3. Bentuk-Bentuk Negara
2.3.1.
Negara kesatuan
Negara Kesatuan adalah bentuk suatu negara yang
merdeka dan berdaulat dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur
seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi dalam
dua macam sistem pemerintahan yaitu pemerintahan: sentral dan otonomi.
a)
Negara kesatuan dengan sistem
sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung dipimpin oleh
pemerintahan pusat, sementara pemerintahan
daerah dibawahnya
melaksanakan kebijakan pemerintahan pusat. Salah satu contoh sistem pemerintahan
model ini adalah Pemerintahan Orde Baru pada saat pemerintahan Presiden Soeharto.
b)
Negara kesatuan dalam sistem
desentralisasi adalah kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk
mengurus urusan pemerintah diwilayahnya sendiri. Sistem ini dikenal dengan
istilah otonomi daerah
atau swatantra. Contoh negara yang menggunakan sistem ini adalah
Malaysia dan pemerintahan Indonesia Pasca Orde Baru.
2.3.2.
Negara Serikat
Negara serikat atau federasi merupakan bentuk negara
gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat.
Pada mulanya negara tersebut telah merdeka, berdaulat dan berdiri sendiri. namun
setelah bergabung
dengan negara serikat dengan sendirinya negara tersebut melepaskan sebagian
dari kekuasaannya dan menyerahkannya kepada negara serikat.
Dari
sisi pelaksanaan dan mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok yaitu;
a. Monarki
Pemerintahan
monarki adalah pemerintahan yang dikepalai oleh seorang raja atau ratu. Dalam
praktiknya monarki memiliki dua jenis yaitu monarki absolut dan monarki
konstitusional. Monarki absolut adalah model pemerintahan dengan kekuasaan
tertinggi di tangan satu orang raja atau ratu. Contohnya pemerintahan Arab
Saudi. Adapun, monarki Konstitusional adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan
kepala pemerintahanya (perdana menteri) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan
konstitusi negara. Artinya kedudukan raja hanya sebatas simbol saja. Contohnya
adalah negara Malaysia, Jepang dan Inggris.
b. Oligarki
Model
pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang
yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
c. Demokrasi
Pemerintahan
model demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan
rakyat dan bersandar pada kedauatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada
pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum.

2.4.
Warga Negara Indonesia
Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan
(UUKI) 2006, yang dimaksud dengan warga negara adalah warga suatu negara yang
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Yang merupakan warga
negara Indonesia menurut UUKI 2006 (pasal 4, 5, 6) sebagai berikut:
a. Setiap orang yang berdasarkan
peraturan perudang-undangan dan/ atau berdasarkan perjanjian pemerintah
Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah
menjadi warga negara Indonesia.
b. Anak yang
lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia.
c. Anak yang
lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu
warga negara asing.
d. Anak yang
lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu
warga negara Indonesia.
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari
seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan
kepada anak tersebut
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga
ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan
ayahnya Warga Negara Indonesia
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari
seorang ibu Warga Negara Indonesia;
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari
seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara
Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin
i. Anak yang
lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas
status kewarganegaraan ayah dan ibunya
j. Anak yang
baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan
ibunya tidak diketahui;
k. Anak yang
lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak
mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;
l. Anak yang
dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu
Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut
dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah
dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal
dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selanjutnya, Pasal 5 UUKI 2006
tentang status Anak Warga Negara Indonesia menyatakan;
1. Anak warga negara Indonesia yang
lahir diluar perkawinan yang sah, sebelm
berusia 18 tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegraan asing tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.
2. Anak warga negara Indonesia yang
belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing
berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.
Sedangkan tentang pilihan menjadi warga
negara bagi anak yang dimaksud pada pasal-pasal sebelumnya dijelaskan dalam
Pasal 6 UUKI 2006, sebagai berikut;
1. Dalam hal status kewarganegaraan
republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf c,
huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganearaan ganda,
setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan
memilih salah satu kewarganegaraannya.
2. Pernyataan untuk
memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara
tertulis dan disampikan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan
didalam peraturan perundang-undangan
3. Pernyataan untuk memilih
kewarganegaraan sebagai mana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu
paling lambat tiga (3) tahun setelah anak berusia delapan belas tahun atau
sudah kawin.
2.5.
Hubungan Negara dengan Warga
Negara
Hubungan antara negara dan warga negara
sangat erat. Negara Indonesia sesuai dengan konstitusi, misalnya berkewajiban
untuk menjamin dan melindungi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali.
Secara jelas dalam UUD Pasal 34
misalnya, (ayat 1 ) disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara. (Ayat 2) negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memperdayakan masyarakat yang lemah dan tak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan. (Ayat 3) negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas layanan umum yang layak.
Namun
demikian, kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak warganya tidak dapat
berlangsung dengan baik tanpa dukungan warga negara dalam bentuk pelaksanaan
kewajibannya sebagai warga negara. Misalnya, warga negara berkewajiban membayar
pajak dan mengontrol jalannya pemerintahan baik melalui mekanisme kontrol tidak
langsung melalui wakilnya di lembaga perwakilan rakyat (DPR,
DPRD) maupun secara langsung
melalui cara-cara demokratis dan bertanggung jawab.
2.6.
Hubungan Agama dengan Negara
Negara Indonesia mencerminkan cita-cita
pokok-poko pikiran dalam UUD 1945 sesuai dengan ideologi nasional Pancasila,
yaitu sebagai negara kebangsaan yang berdasar ketuhanan yang maha esa. Ini
artinya, kehidupan bernegara harus mencerminkan nilai-nilai kesucian yang
bersumber dari nilai-nilai ketuhanan. Tetapi indonesia bukanlah negara agama,
indonesia juga bukan negara sekuler namun indonesia adalah negara yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hubungan dengan rakyatnya, negara
harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk memeluk keyakinan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinanya
itu.
Secara umum pembuatan peraturan
perundangan-undangan di Indonesia harus mengacu kepada kaidah “kebijakan
pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan pada kemaslahatan” (tasharraf al
imam ‘ala raiyyah manuuthun bi al mashlahah). Secara lebih khusus lagi, sesuai
dengan dasar filosofi ajaran Islam (maqashid al syari’at), maka semua peraturan
perundang-undangan hendaklah dapat memperkuat lima tujuan diturunkannya
syari’at (maqashid al syari’at) (Imam Abu Ishaq Ibrahim, 2004).
Perdebatan Islam dan negara berangkat dari pandangan
dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang
mengatur semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandangan Islam
sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat
konsep pemisahan antara agama (din) dan politik
(dawlah). Argumen
ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad di Madinah. Di Madinah Nabi
mempunyai peran ganda yaitu sebagai pemimpin Umat Islam dan sebagai kepala
negara.
Hubungan
Islam dan negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
pandangan, yaitu:
2.6.1.
Paradigma Integralistik
Paradigma ini menganut paham dan konsep
agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Paham ini jua memberikan
penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga
agama. Konsep ini
menegaskan kembali bahwa Islam tidak
mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah).
2.6.2.
Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik hubungan
agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal
balik (simbiosis mutualita).
Dalam
pandangan ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan
dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama
sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas warga negara.
2.6.3.
Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik ini beranggapan
bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara
merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan
masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu
sama lain melakukan intervensi. Negara adalah kesatuan publik, sementara agama
merupakan wilayah pribadi masing-masing warga negara.
2.7.
Hubungan Negara dan Agama;
Pengalaman Islam di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai negara dengan
penduduk muslim terbesar di dunia tetapi Indonesia bukanlah negara Islam. Dari
inilah perdebatan tentang pola hubungan Islam dan negara di Indonesia merupakan
perdebatan politik yang tidak kunjung selesai. Perdebatan soal pola hubungan
Islam dan negara ini telah muncul dalam perdebatan publik sebelum Indonesia
merdeka. Perdebatan tentang Islam dan Nasionalisme antara tokoh nasionalis
muslim dan nasionalis sekuler pada 1920-an merupakan babak awal pergumulan
Islam dan negara pada kurun-kurun selanjutnya. Tulisan-tulisan tentang islam
dan watak nasionalisme Indonesia menghiasi surat kabar pergerakan nasional pada
waktu itu, menanggapi pandangan dan peham sekuler yang dilontarkan kalangan
tokoh nasionlais muslim Mohammad Nasir dan Soekarno dari kelompok nasionalis
dan PKI. Keberadaan PKI sangat penting bagi pemerintahan Soekarno karena
perolehan suaranya yang sangat signifikan dalam pemilu 1955. Model kepemimpinan
‘tiga kaki’ Presiden Soekarno ini menimbulkan kecemburuan politik di kalangan militer
di bawah Jendral A. H. Nasution perseteruan politik dan ideologu antara TNI
dengan PKI berdampak pada persekutuan politik antara kelompok islam dan militer
untuk menghadapi PKI yang tengah dekat dengan Presiden Soekarno. Seperti
perseturuan ideologi sebalumnya, ideologi sosial TNI melawan paham komunis.
System Demokrasi Terpimpin ala
Presiden Soekarno berakhir dengan peristiwa politik yang tragis, Gerakan 30 September
1965. Gerakan makar ini menurut beberapa ahli merupaka buah dari perseturuan
ideology panjang antara PKI dan TNI, khususnya Angkatan Darat, yang berujung
pada pembunuhan sejumlah elite pimpinan TNI di Lubang Buaya, Halim, Jakarta.
Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan politik Presiden Soekarno dan wala
naiknya kiprah Presiden Soeharto. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret
(supersemar), Panglima Kostrad (Komando Strategis AD) Letnan Jendral Soeharto
kala itu memimpin pemulihan keamanan nasional dengan melakukan penumpasan
terhadap semua unsur komunis di Indonesia.
Akhir masa pemulihan keamanan
berhasil menaikkan Letnan Jendral Soeharto ke tampuk kepemimpinan nasimal yang
disahkan oleh sidang Umum MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara) di bawah pimpinan Jendral A. H. Nasution pada
1968. Dengan slogan kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen, Presiden
Soeharto memulai kiprah kepemimpinan nasionalnya dengan sebutan Orde Baru,
Sebagai pengganti Orde Lama yang dinilainya telah menyimpang dari Pancasila dan
UUD 1945.
Dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif
Islam dapat dijadikan petunjuk moral bagi semua masyarakat Indonesia dalam
membangun kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Penjelasan ini merupakan sebuah hasil dari pergumulan Ahmad
Syafii Maarif dengan sejarah, yang menjadi study-nya dan telah membuatnya dapat
melakukan mobilitas yang sangat radikal dalam pemikiran Islam. Penempatan diri
dari Buya Syafii dapat terus berubah-ubah sebagai sebuah hasil dari
perkembangan pengetahuan hasil berdialog dengan sejarah, hal ini dapat kita
lihat dari berubahnya seorang Ahmad Syafii Maarif dari seorang yang
fundamentalis menjadi seorang Islam yang terbuka, atau dalam bahasa Buya Syafii
sebagai Muslim yang inklusif dan pluralis. Selain itu dapat juga kita lihat
bagaimana cita-cita yang awalnya menginginkan untuk terselenggaranya negara
Islam nan megah menjadi seorang pembela demokrasi dan Pancasila sebagai sebuah
ajaran moral bagi manusia Indonesia. Dalam bahasa singkatnya Ahmad Syafii Maarif
dalam hal pemikiran negara dan agama mengalami transformasi pemikiran yang
sangat kontras, dari syariat oriented pemikiran
Moh. Natsir menjadi seorang sosial-demokrat yang menjadi
orientasi dari Muhammad Hatta.
2.8.
Islam dan Negara Baru:
Dari Antagonistik Hingga Akomodatif
Munculnya
kekuasaan Orde Baru yang berpusat pada Presiden Soeharto melahirkan babak baru
hubungan islam dan negara di Indonesia. Hubungan antara keduanya secara umum
dapt digolongkan kedalam dua pola: Antagonistis dan akomodatif. Hubungan
antagonistis merupakan sifat hubungan yang mencirikan adaya ketegangan antara
islam dan Orde Baru. Antara keduanya terjadi saling mencurigai; sedangkab
akomodatif menunjukkan kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok islam
dan Orde Baru.
Hubungan
antagonis antara pemerintahan Orde Baru dengan kelompok islam dapat dilihat
dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan islam yang berlebihan yang dilakukan
Presiden Soeharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan
nasionalis sekuler terhadap kelompok islam, khususnya di era 1950-an di kala
presiden Soekarno masih berkuasa.
Sikap
curiga dan kekhawatiran terhadap kekuatan Islam membawa implikasi terhadap
keinginan negara untuk berusaha menghalagi dan melakukan domestikasi
(pendangkalan dan penyempitan) gerakan kekuatan politik Islam, baik semasa Orde
Lama maupun di awal-awal pemerintahan Presiden Soeharto. Keinginan para
pemimpin dan aktivis politik islam di era 40 dan 50 yang berjuang hendak
menjadikan islam sebagai ideologi dan atau agama negara masih menyisakan
kecurigaan negara di era-era selanjutnya. Kuatnya kecurigaan pemerintahan Orde
Baru terhadap kekuatan umat islam telah menempatkn kekuatan islam sebagai
kelompok kekuatan minoritas atau di luar negara (outsider). Lebih dari sekedar
curiga terhadap kekuatan politik islam, menurut pakar politik islam Profesor
Bahtiar Effendy, islam sering dicurigai oleh negara Orde Baru sebagai
anti-ideologi negara Pancasila.
Berakibat pada peminggiran Islam dari arena
politik nasional. Akibatnya, kebijakan politik control dan represif terhadap kekuatan politik islam mewarnai
arah dan kecenderungan politik Orde Baru.
Pendekatan
politik keamanan yang dilakukan Orde Baru dapat ditengarahi pada sejumlah
peristiwa kekerasan negara atas kelompok islam di era 1980-an yang dianggap
sebagai penentang Asas Tunggal Pancasila. Kekerasan politik dan peminggiran
islam dari pentas politik nasional yang dilakukan rezim Orde Baru atas kekuatan
islam inilah menjadi karakter antagonis hubungan islam dan negara Orde Baru,
yang sejak berdiringan pada awla 1980-an islam dianggap sebagai ancaman serius
bagi kelangsungan kekuasaan Presiden
Soeharto. Warisan kebijakan politik Orde sebelumnya masih menghantui pola
hubungan islam dan negara Orde Baru.
Pertengahan
1980-an merupakan awal perubahan pendulu hubungan islam dan pemerintahan orde
baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik Presiden
Soeharto yang dinilai positif bagi umat islam. Masih menurut Effendy, kebijakan
–kebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik islam
selanjutnya baik struktural maupun kultural.
Kecenderungan
akomodasi ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan akomodasionis umat islam sendiri
terhadap Orde Baru. Pemerintahan Soeharto mulai menyadari akan potensi umat
islam lebih disebabkan oleh pemahahaman negara terhadap perubahan sikap politik
umat islam terhadap islam terhadap kebijakan negara, terutama dalam konteks
pemberlakuan dan penerimaan Asas Tunggal Pancasila. Perubahan sikap umat islam
pada paruh kedua tahun 1980-an, dari menentang menjadi menerima Pancasila
sebagai satu-satunya asa dalam kehidupan berbangsa dan berhegara bersinergi
dengan sejumlah kebijakan Orde Baru yang menguntungkan umat yang menguntungkan umat islam pada masa
selanjutnya.
Pengesahan
RUU pendidikan nasional, pengesahan RUU Peradilan agama, pembolehan pemakaian
jilbab bagi siswi Muslim di sekolah umum, kemunculan orgenisasi ikatan
cendikiawan muslim Indonesia (ICMI), dan lahirnya Yayasan Amal Bakti Muslim
Pancasila yang langsung dipimpin oleh Presiden Soeharto perupakan indikator
adanya hubungan akomodatif yang dilakukan elite penguasa Orde Baru terhadap
Islam. Pola hubungan yang saling menguntungkan antara pemerintahan Presiden
Soeharto dan kekuatan islam masih berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan Orde
Baru yang dijatuhkan oleh gerakan reformasi pada tahun 1998. Uniknya kejatuhan
pemerintahan Presiden Soeharo tidak bisa dilepaskan dari daya kritis kekuatan
umat islam, dimana berbagai elemen kekuatan sipil islam ikut andil dalam
mengkritisi kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dinilai penuh dengan praktik
korupsi dan nepotisme.
2.9.
Islam dan Negara di Era
Reformasi: Bersama Membangun Demokrasi dan Mencegah Disintegrasi Bangsa
Peran Agama, khususnya islam sebagai
agama mayoritas di Indonesia senagat strategis bagi proses transformasi dan
substansialisasi demokrasi di Indonesia. Keberhasilan Indonesia melaksanakan
beberapa kali pemilihan umum dengan multipartai secara bebas dana aman menjadi
pertanda keberhasilan peran agama dalam proses peralihan dan internalisasi
demokrasi di Indonesia selanjutnya.
Dalam buku cita cita politik Islam di
Era Reformasi, Nurcholis memberikan pandangan yang utuh: gagasan sederhana
bahwa warga negara atau rakyat harus didengar suaranya dalam proses pengambilan
keputusan yang mempengaruhi hidup mereka, bahwa rakyat punya hak untuk tidak di
perlakukan secara tidak adil, bahwa pemerintah harus merespon hajat rakyatnya,
dan seterusnya.
Kesuksesan Indonesia dalam berdemokrasi
ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari karakter ideologi negara Pancasila
yang fleksibel dan akomodatif terhadap perubahan mainstream politik global dimana
demokrasi menjadi wacana dan prosedur utamanya. Kontribusi islam dan Pancasila
terhadap proses demokratisasi sepanjang era reformasi ini telah berbuah positif
bagi posisi Indonesia di mata dunia sebagai negara muslim paling demokratis di
dunia muslim dan menempati peringkat ketiga
BAB III
PENUTUPAN
PENUTUPAN
3.1.
Kesimpulan
Hubungan antara agama & Negara dalah tidak dapat
dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintah dijalankan
berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa
dan Negara dilakukan atas titah Tuhan. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan
manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin
norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Kehidupan manusia, dunia
manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan
agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama
merupakan keluhan makhluk tertindas
Tidak akan ada negara tanpa warga
negara. Warga negara merupakan unsur terpenting dalam hal terbentuknya negara.
Warga negara dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Keduanya saling berkaitan dan memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang
berupa hubungan timbal balik. Warga negara mempunyai kewajiban untuk menjaga
nama baik negara dan membelanya. Sedangkan negara mempunyai kewajiban untuk
memenuhi dan mensejahterakan kehidupan warga negaranya. Sementara untuk hak,
warga negara memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan dan penghidupan yang
layak dari negara, sedangkan negara memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan
dan penjagaan nama baik dari warga negaranya. Dapat disimpulkan bahwa hak
negara merupakan kewajiban warga negara dan sebaliknya kewajiban negara
merupakan hak warga negara.
Selain itu, tentunya kita sebagai warga
negara Indonesia yang baik, memiliki banyak kewajiban yang harus kita
laksanakan untuk negara. Diantaranya yang terpenting adalah mematuhi
hukum-hukum yang berlaku. Negara membuat suatu peraturan dan hukum, pasti
bertujuan yang baik untuk kelangsungan hidup dan tertatanya suatu negara. Hukum
di Indonesia jika diklasifikasikan menurut wujudnya ada 2, yaitu Hukum tertulis
(UUD, UU, Perpu, PP) dan Hukum tidak tertulis (Inpres, Kepres). menanggapi dan
berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan negaranya, maka terwujudlah Indonesia
yang aman, tentram, damai, dan sejahtera. Marilah kita saling menghargai satu
sama lain demi Indonesia.
3.2.
Saran
Sebagai warga negara, sudah selayaknya
kita mengkaji lebih dalam hubungan antara agama dan negara. Selain untuk
memperluas cakrawala berpikir, kelak ketika kita menempati posisi strategis di
pemerintahan kita tidak terjebak pada arus perdebatan penyatuan agama dan
negara. Sebab yang lebih penting itu semua adalah bagaimana kita bernegara atau
memerintah sesuai dengan norma-norma yang diajarakan agama kita. Lantaran pada
hakikatnya agama akan menuntun umatnya pada kebaikan. Jika kita bernegara
dengan mengindahkan norma agama, niscaya kita akan menjadi warga negara dan
pemimpin yang baik.
Untuk mengembangkan nilai-nilai
Pancasila dan memadukannya dengan agama, diperlukan usaha yang cukup keras.
Salah satunya kita harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Selain itu,
kita juga harus mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia
yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya.
Selain itu, dengan hak dan kewajiban
yang sama setiap orang Indonesia tanpa harus diperintah dapat berperan aktif
dalam melaksanakan bela negara. Membela negara tidak harus dalam wujud perang
tetapi bisa diwujudkan dengan cara yang mudah diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari seperti:
1) Ikut
serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
2) Ikut
serta membantu korban bencana di dalam negeri
3) Belajar
dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau PKN
4) Mengikuti
kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka.
Dan masih banyak lagi cara untuk membela
negara. Selain itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan di atas, kita juga dapat
menumbuhkan rasa bangga dan cinta terhadap tanah air Indonesia.
Sikap saling menghargai antar warga
negara dan negaranya (pemerintah) sangat diperlukan untuk terciptanya dan
terwujudnya tujuan NKRI yang tercantum di UUD 1945. Apabila warga negara
mematuhi hukum dan peraturan negara, dan negara (pemerintah).
DAFTAR PUSTAKA
Asy’ary,
Hasyim. Relasi Negara Dan Agama Di
Indonesia. Jurnal RechtsVinding Online Di akses dari: https://books.google.com/books?hl=id&lr=&id=1FkChaGcKwMC&oi=fnd&pg=PP1&dq=related:j-4dnnQHB4EJ:scholar.google.com/&ots=Hhg1PrY_vU&sig=yAZFNdJD4mX5uVJlCM_KnUWAIUA Pada 17 Maret 2020.
Gianto.
2019. Pendidikan Filsafat Pancasila dan
Kewarganegaraan. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia
Majid,
Nurcholis. 1999. Cita-cita Politik Islam
di Era Reformasi. Universitas Machigan: Paramadina
Sholikin,
Ahmad. Pemikiran Politik Negara Dan Agama
“Ahmad Syafii Maarif”. Jurnal Politik
Muda, Vol 2 No.1, Januari-Maret 2012, hal .202 194-203202 Di akses dari:
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/194-203%20Solikhin.pdf pada 17 Maret 2020.
Suastika,
Nengah dan Sukadi. 2017. Pendidikan
Kewarganegaraan. Yogyakarta: CV. Andi
Ubaidillah dkk. 2006.
Pendidikan Kewarganegaraan edisi revisi
(civic education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Jakarta: ICCE Jakarta-Kencana Prenada
Media Group.
Ubaidillah.
2017. Pancasila Demokrasi dan Pencegahan
Korupsi. Jakarta: KENCANA
No comments:
Post a Comment