Sunday, May 10, 2020

MAKALAH NEGARA DAN AGAMA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Konsep Dasar Tentang Negara
2.1.1.      Pengertian Negara
Istilah negara  merupakan terjemahan dari beberapa kata asing state (inggris) staat (belanda dan jerman) atau etat (perancis). Secara terminologi negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup dalam suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam satu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstruktif yang pada galibnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat: Masyarakat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Lebih lanjut dari pengertian di atas negara identik dengan hak dan wewenang.
2.1.2.      Tujuan negara
Sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang-orang yang mendiaminya, negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama. tujuan sebuah negara dapat bermacam-macam antara lain:
1)   Bertujuan untuk memperluas kekuasaan.
2)   Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum.
3)   Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dalam tradisi barat pemikiran tentang terbentuknya sebuah negara memiliki tujuan tertentu sesuai model negara tersebut. Dalam konsep dan ajaran Plato, tujuan adanya negara adalah untuk memajukan kesusilaan masyarakat sebagai perseorangan (individu) dan sebagai makhluk sosial.
Dalam islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan negara adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi pihak-pihak asing.
Sedangkan dalam konteks negara Indonesia, tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam pembukaan dan penjelasan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945..
2.1.3.      Unsur-unsur Negara
Suatu negara harus memiliki tiga unsur penting yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintah. Berikut akan dijelaskan masing-masing unsur tersebut:
a.      Rakyat
Rakyat dalam pengertian keberadaan suatu negara adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh rasa persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.
b.      Wilayah
Wilayah adalah unsur suatu negara yang harus terpenuhi karena tidak mungkin ada negara tanpa tanpa ada batas-batas teritorial yang jelas. Secara umum wilayah suatu negara biasanya mencakup daratan, perairan, dan udara. Dalam konsep negara modern masing-masing batas wilayah tersebut diatur dalam perjanjian dan  perundang-undangan internasional.
c.      Pemerintah
Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintah, melalui aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan warga negara yang beragam.

d.     Pengakuan negara lain
Unsur pengakuan oleh negara lain hanya bersifat menerangkan tentang adanya negara. Hal ini hanya bersifat deklaratif, bukan konstitutif, sehingga tidak bersifat mutlak. Ada dua macam pengakuan suatu negara, yaitu ;
1.      De facto
Ialah  pengakuan atas fakta adanya negara. Pengakuan ini didasarkan adanya fakta bahwa suatu masyarakat politik telah memenuhi tiga unsur utama negara (wilayah, rakyat dan pemerintah yang berdaulat).
2.      De jure
Merupakan pengakuan akan sahnya suatu negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut hukum. Dengan memperoleh pengakuan de jure, maka suatu negara mendapatkan hak-haknya disamping kewajiban sebagai anggota keluarga bangsa sedunia. Hak dan kewajiban yang dimaksud adalah hak dan kewajiban untuk bertindak dan diberlakukan sebagai suatu negara yang berdaulat penuh diantara negara lain.   
2.2.      Teori Tentang Terbentuknya Negara
2.2.1.      Teori kontrak sosial (social contract)
Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan penjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat. Teori ini meletakkan negara untuk tidak berpotensial menjadi negara tirani, karena keberlangsungan bersandar pada kontrak-kontrak sosial antara warga negara dengan lembaga negara.  Penganut mazhab ini antara lain Thimas Hobbes, John Locke, dan J.J.Rousseau.
a.       Thomas Hobbes (1588-1679)
Menurut Hobbes kehidupan manusia terpisah dalam dua zaman, yakni keadaan selama belum ada negara atau keadaan alamiah (status naturalis, state of nature), dan keadaan setelah ada negara. Bagi Hobbes keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman dan sejahtera tapi sebaliknya. Menurut Hobbes keadaan alamiah merupakan suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum, tanpa pemerintah dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar-individu di dalamnya. Karena menurut Hobbes dibutuhkan kontrak atau perjanjian bersama individu-individu yang tadinya hidup dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan yang disebut negara.
b.      John Locke ( 1632-1704)
Berbeda dengan Hobbes, John Locke melihat keadaan alamiah sebagai suatu keadaan yang damai, penuh komitmen yang baik, saling tolong-menolong antara individu-individu di dalam sebuah kelompok masyarakat. Tetapi ia berpendapat bahwa keadaan ideal tersebut memiliki potensial terjadinya kekacauan lantaran tidak adanya organisasi dan pemimpin yang dapat mengatur kehidupan mereka. Namun, menurut Locke penyelenggara negara atau pimpinan negara harus dibatasi melalui suatu kontra sosial. Dasar pemikiran kontrak sosial antara negara dan warga negara merupakan suatu peringatan bahwa kekuasaan pemimpin (penguasa) tidak perah mutlak, tetapi selalu terbatas.
c.       Jean Jacques Rousseau ( 1712-1778)
Berbeda dengan keduanya, menurut  Rousseau keberadaan suatu negara bersandar pada perjanjian warga negara untuk mengikatkan diri dengan suatu pemerintah yang dilakukan melalui organisasi politik. Menurutnya, pemerintah tidak memiliki dasar kontraktual, melainkan hanya organisasi politiklah yang dibentuk melalui kontrak. Melalui pandangan ini, Rousseau dikenal sebagai peletak dasar bentuk negara yang kedaulatannya berada ditangan rakyat melalui perwakilan organisasi politik mereka. 

2.2.2.      Teori Ketuhanan (Teokrasi)
Teori Ketuhanan  dikenal dengan istilah doktrin teokratis. Doktrin ini memiliki pandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki para raja berasal dari Tuhan. Mereka mendapatkan mandat Tuhan untuk bertahta sebagai penguasa. Para raja mengklaim sebagai wakil Tuhan di dunia yang mempertanggungjawabkan kekuasaannya hanya kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Praktik kekuasaan model ini ditentang oleh kalangan monarchomach (penentang raja). Menurut mereka, raja tiran dapat diturunkan dari mahkotanya, bahkan dapat dibunuh. Mereka beranggapan bahwa semua kekuasaan adalah milik rakyat.
Dalam sejarah tata negara Islam. Pandangan teokratis serupa pernah dijalankan oleh raja-raja muslim sepeninggalan  Nabi Muhammad saw. Dengan mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan atau bayang-bayang Allah di dunia (khalifatullah fi al-Ard, dzillullah fi al-Ard) raja-raja muslim tersebut umumnya menjalankan kekuasaan secara tiran. Serupa dengan pada raja-raja di Eropa Abad Pertengahan, raja-raja muslim merasa tidak harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat, tetapi langsung kepada Allah. paham teokrasi Islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan (dien wa dawlah). Pandangan ini berkembang menjadi paham dominan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sama halnya dengan pengalaman kekuasaan teokrasi di Barat, penguasa teokrasi Islam menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok anti-kerajaan. Dipengaruhi pemikiran sekuler barat, menurut pandangan modernis muslim, kekuasaan dalam Islam harus dipertanggungjawabkan baik kepada Allah maupun rakyat.
2.2.3.      Teori Kekuatan
Dapat diartikan bahwa negara terbentuk karena adanya dominasi negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran dari terbentuknya sebuah negara. Melalui proses penaklukan dan pendudukan suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu dimulailah proses pembentukan suatu negara. Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara karena pertarungan kekuatan dimana sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah negara.
Teori ini berawal dari kajian antropologi atas pertikaian yang terjadi dikalangan suku-suku primitif, dimana si pemenang pertikaian menjadi penentu utama kehidupan suku yang dikalahkan. Bentuk penaklukan yang paling nyata di masa modern adalah penaklukan dalam bentuk penjajahan bangsa barat atas bangsa-bangsa tmur. Setelah masa penjajahan berakhir diawal abad ke-20 dijumpai banyak negara-negara baru yang krmrtdekaannya banyak ditentukan oleh penguasa kolonial. Negara Malaysia dan Brunei Darussalam bisa dikategorikan ke dalam jenis ini.
2.3.         Bentuk-Bentuk Negara
2.3.1.      Negara kesatuan
Negara Kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi dalam dua macam sistem pemerintahan yaitu pemerintahan: sentral dan otonomi.
a)      Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung dipimpin oleh pemerintahan pusat, sementara pemerintahan daerah dibawahnya melaksanakan kebijakan pemerintahan pusat. Salah satu contoh sistem pemerintahan model ini adalah Pemerintahan Orde Baru pada saat pemerintahan Presiden Soeharto.
b)      Negara kesatuan dalam sistem desentralisasi adalah kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintah diwilayahnya sendiri. Sistem ini dikenal dengan istilah otonomi daerah atau swatantra. Contoh negara yang menggunakan sistem ini adalah Malaysia dan pemerintahan Indonesia Pasca Orde Baru. 
2.3.2.      Negara Serikat
Negara serikat atau federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pada mulanya negara tersebut telah merdeka, berdaulat dan berdiri sendiri. namun setelah bergabung dengan negara serikat dengan sendirinya negara tersebut melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkannya kepada negara serikat.
Dari sisi pelaksanaan dan mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu;
a.  Monarki
Pemerintahan monarki adalah pemerintahan yang dikepalai oleh seorang raja atau ratu. Dalam praktiknya monarki memiliki dua jenis yaitu monarki absolut dan monarki konstitusional. Monarki absolut adalah model pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja atau ratu. Contohnya pemerintahan Arab Saudi. Adapun, monarki Konstitusional adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala pemerintahanya (perdana menteri) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi negara. Artinya kedudukan raja hanya sebatas simbol saja. Contohnya adalah negara Malaysia, Jepang dan Inggris.
b.  Oligarki
Model pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
c.  Demokrasi
Pemerintahan model demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat dan bersandar pada kedauatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum.


 



          2.4.            Warga Negara Indonesia
Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan (UUKI) 2006, yang dimaksud dengan warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Yang merupakan warga negara Indonesia menurut UUKI 2006 (pasal 4, 5, 6) sebagai berikut:
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perudang-undangan dan/ atau berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia.
b.  Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia.
c.  Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing.
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu warga negara Indonesia.
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia;
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin
i.   Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
j.   Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k.  Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;
l.   Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selanjutnya, Pasal 5 UUKI 2006 tentang status Anak Warga Negara Indonesia menyatakan;
1. Anak warga negara Indonesia yang lahir diluar perkawinan yang sah, sebelm  berusia 18 tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegraan asing tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.
2. Anak warga negara Indonesia yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.
Sedangkan tentang pilihan menjadi warga negara bagi anak yang dimaksud pada pasal-pasal sebelumnya dijelaskan dalam Pasal 6 UUKI 2006, sebagai berikut;
1. Dalam hal status kewarganegaraan republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganearaan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
2. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampikan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan didalam peraturan perundang-undangan
3. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagai mana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat tiga (3) tahun setelah anak berusia delapan belas tahun atau sudah kawin.
          2.5.            Hubungan Negara dengan Warga Negara
Hubungan antara negara dan warga negara sangat erat. Negara Indonesia sesuai dengan konstitusi, misalnya berkewajiban untuk menjamin dan melindungi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali. Secara jelas dalam UUD Pasal 34 misalnya, (ayat 1 ) disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. (Ayat 2) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memperdayakan masyarakat yang lemah dan tak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (Ayat 3) negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas layanan umum yang layak.
Namun demikian, kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak warganya tidak dapat berlangsung dengan baik tanpa dukungan warga negara dalam bentuk pelaksanaan kewajibannya sebagai warga negara. Misalnya, warga negara berkewajiban membayar pajak dan mengontrol jalannya pemerintahan baik melalui mekanisme kontrol tidak langsung melalui wakilnya di lembaga perwakilan rakyat (DPR, DPRD) maupun secara langsung melalui cara-cara demokratis dan bertanggung jawab.
          2.6.            Hubungan Agama dengan Negara
Negara Indonesia mencerminkan cita-cita pokok-poko pikiran dalam UUD 1945 sesuai dengan ideologi nasional Pancasila, yaitu sebagai negara kebangsaan yang berdasar ketuhanan yang maha esa. Ini artinya, kehidupan bernegara harus mencerminkan nilai-nilai kesucian yang bersumber dari nilai-nilai ketuhanan. Tetapi indonesia bukanlah negara agama, indonesia juga bukan negara sekuler namun indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hubungan dengan rakyatnya, negara harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk memeluk keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinanya itu.
Secara umum pembuatan peraturan perundangan-undangan di Indonesia harus mengacu kepada kaidah “kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan pada kemaslahatan” (tasharraf al imam ‘ala raiyyah manuuthun bi al mashlahah). Secara lebih khusus lagi, sesuai dengan dasar filosofi ajaran Islam (maqashid al syari’at), maka semua peraturan perundang-undangan hendaklah dapat memperkuat lima tujuan diturunkannya syari’at (maqashid al syari’at) (Imam Abu Ishaq Ibrahim, 2004).
 Perdebatan Islam dan negara berangkat dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandangan Islam sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah). Argumen ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad di Madinah. Di Madinah Nabi mempunyai peran ganda yaitu sebagai pemimpin Umat Islam dan sebagai kepala negara.
Hubungan Islam dan negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga pandangan, yaitu:
2.6.1.      Paradigma Integralistik
Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Paham ini jua memberikan penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali  bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah).
2.6.2.      Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik hubungan agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam pandangan ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas warga negara.
2.6.3.      Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik ini beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah kesatuan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga negara.
          2.7.            Hubungan Negara dan Agama; Pengalaman Islam di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tetapi Indonesia bukanlah negara Islam. Dari inilah perdebatan tentang pola hubungan Islam dan negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tidak kunjung selesai. Perdebatan soal pola hubungan Islam dan negara ini telah muncul dalam perdebatan publik sebelum Indonesia merdeka. Perdebatan tentang Islam dan Nasionalisme antara tokoh nasionalis muslim dan nasionalis sekuler pada 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan negara pada kurun-kurun selanjutnya. Tulisan-tulisan tentang islam dan watak nasionalisme Indonesia menghiasi surat kabar pergerakan nasional pada waktu itu, menanggapi pandangan dan peham sekuler yang dilontarkan kalangan tokoh nasionlais muslim Mohammad Nasir dan Soekarno dari kelompok nasionalis dan PKI. Keberadaan PKI sangat penting bagi pemerintahan Soekarno karena perolehan suaranya yang sangat signifikan dalam pemilu 1955. Model kepemimpinan ‘tiga kaki’ Presiden Soekarno ini menimbulkan kecemburuan politik di kalangan militer di bawah Jendral A. H. Nasution perseteruan politik dan ideologu antara TNI dengan PKI berdampak pada persekutuan politik antara kelompok islam dan militer untuk menghadapi PKI yang tengah dekat dengan Presiden Soekarno. Seperti perseturuan ideologi sebalumnya, ideologi sosial TNI melawan paham komunis.
            System Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno berakhir dengan peristiwa politik yang tragis, Gerakan 30 September 1965. Gerakan makar ini menurut beberapa ahli merupaka buah dari perseturuan ideology panjang antara PKI dan TNI, khususnya Angkatan Darat, yang berujung pada pembunuhan sejumlah elite pimpinan TNI di Lubang Buaya, Halim, Jakarta. Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan politik Presiden Soekarno dan wala naiknya kiprah Presiden Soeharto. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret (supersemar), Panglima Kostrad (Komando Strategis AD) Letnan Jendral Soeharto kala itu memimpin pemulihan keamanan nasional dengan melakukan penumpasan terhadap semua unsur komunis di Indonesia.
            Akhir masa pemulihan keamanan berhasil menaikkan Letnan Jendral Soeharto ke tampuk kepemimpinan nasimal yang disahkan oleh sidang Umum  MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) di bawah pimpinan Jendral A. H. Nasution pada 1968. Dengan slogan kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen, Presiden Soeharto memulai kiprah kepemimpinan nasionalnya dengan sebutan Orde Baru, Sebagai pengganti Orde Lama yang dinilainya telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
Dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif Islam dapat dijadikan petunjuk moral bagi semua masyarakat Indonesia dalam membangun  kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Penjelasan ini merupakan sebuah hasil dari pergumulan Ahmad Syafii Maarif dengan sejarah, yang menjadi study-nya dan telah membuatnya dapat melakukan mobilitas yang sangat radikal dalam pemikiran Islam. Penempatan diri dari Buya Syafii dapat terus berubah-ubah sebagai sebuah hasil dari perkembangan pengetahuan hasil berdialog dengan sejarah, hal ini dapat kita lihat dari berubahnya seorang Ahmad Syafii Maarif dari seorang yang fundamentalis menjadi seorang Islam yang terbuka, atau dalam bahasa Buya Syafii sebagai Muslim yang inklusif dan pluralis. Selain itu dapat juga kita lihat bagaimana cita-cita yang awalnya menginginkan untuk terselenggaranya negara Islam nan megah menjadi seorang pembela demokrasi dan Pancasila sebagai sebuah ajaran moral bagi manusia Indonesia. Dalam bahasa singkatnya Ahmad Syafii Maarif dalam hal pemikiran negara dan agama mengalami transformasi pemikiran yang sangat kontras, dari syariat oriented pemikiran  Moh. Natsir menjadi  seorang  sosial-demokrat  yang menjadi  orientasi  dari  Muhammad Hatta.
           2.8.             Islam dan Negara Baru: Dari Antagonistik Hingga Akomodatif
            Munculnya kekuasaan Orde Baru yang berpusat pada Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan islam dan negara di Indonesia. Hubungan antara keduanya secara umum dapt digolongkan kedalam dua pola: Antagonistis dan akomodatif. Hubungan antagonistis merupakan sifat hubungan yang mencirikan adaya ketegangan antara islam dan Orde Baru. Antara keduanya terjadi saling mencurigai; sedangkab akomodatif menunjukkan kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok islam dan Orde Baru.
            Hubungan antagonis antara pemerintahan Orde Baru dengan kelompok islam dapat dilihat dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan islam yang berlebihan yang dilakukan Presiden Soeharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok islam, khususnya di era 1950-an di kala presiden Soekarno masih berkuasa.
            Sikap curiga dan kekhawatiran terhadap kekuatan Islam membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalagi dan melakukan domestikasi (pendangkalan dan penyempitan) gerakan kekuatan politik Islam, baik semasa Orde Lama maupun di awal-awal pemerintahan Presiden Soeharto. Keinginan para pemimpin dan aktivis politik islam di era 40 dan 50 yang berjuang hendak menjadikan islam sebagai ideologi dan atau agama negara masih menyisakan kecurigaan negara di era-era selanjutnya. Kuatnya kecurigaan pemerintahan Orde Baru terhadap kekuatan umat islam telah menempatkn kekuatan islam sebagai kelompok kekuatan minoritas atau di luar negara (outsider). Lebih dari sekedar curiga terhadap kekuatan politik islam, menurut pakar politik islam Profesor Bahtiar Effendy, islam sering dicurigai oleh negara Orde Baru sebagai anti-ideologi negara Pancasila.
 Berakibat pada peminggiran Islam dari arena politik nasional. Akibatnya, kebijakan politik control dan represif  terhadap kekuatan politik islam mewarnai arah dan kecenderungan politik Orde Baru.
            Pendekatan politik keamanan yang dilakukan Orde Baru dapat ditengarahi pada sejumlah peristiwa kekerasan negara atas kelompok islam di era 1980-an yang dianggap sebagai penentang Asas Tunggal Pancasila. Kekerasan politik dan peminggiran islam dari pentas politik nasional yang dilakukan rezim Orde Baru atas kekuatan islam inilah menjadi karakter antagonis hubungan islam dan negara Orde Baru, yang sejak berdiringan pada awla 1980-an islam dianggap sebagai ancaman serius bagi  kelangsungan kekuasaan Presiden Soeharto. Warisan kebijakan politik Orde sebelumnya masih menghantui pola hubungan islam dan negara Orde Baru.
            Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulu hubungan islam dan pemerintahan orde baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik Presiden Soeharto yang dinilai positif bagi umat islam. Masih menurut Effendy, kebijakan –kebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik islam selanjutnya baik struktural maupun kultural.
            Kecenderungan akomodasi ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan akomodasionis umat islam sendiri terhadap Orde Baru. Pemerintahan Soeharto mulai menyadari akan potensi umat islam lebih disebabkan oleh pemahahaman negara terhadap perubahan sikap politik umat islam terhadap islam terhadap kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan Asas Tunggal Pancasila. Perubahan sikap umat islam pada paruh kedua tahun 1980-an, dari menentang menjadi menerima Pancasila sebagai satu-satunya asa dalam kehidupan berbangsa dan berhegara bersinergi dengan sejumlah kebijakan Orde Baru yang menguntungkan umat  yang menguntungkan umat islam pada masa selanjutnya.
            Pengesahan RUU pendidikan nasional, pengesahan RUU Peradilan agama, pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi Muslim di sekolah umum, kemunculan orgenisasi ikatan cendikiawan muslim Indonesia (ICMI), dan lahirnya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang langsung dipimpin oleh Presiden Soeharto perupakan indikator adanya hubungan akomodatif yang dilakukan elite penguasa Orde Baru terhadap Islam. Pola hubungan yang saling menguntungkan antara pemerintahan Presiden Soeharto dan kekuatan islam masih berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang dijatuhkan oleh gerakan reformasi pada tahun 1998. Uniknya kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharo tidak bisa dilepaskan dari daya kritis kekuatan umat islam, dimana berbagai elemen kekuatan sipil islam ikut andil dalam mengkritisi kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dinilai penuh dengan praktik korupsi dan nepotisme.

          2.9.            Islam dan Negara di Era Reformasi: Bersama Membangun Demokrasi dan Mencegah Disintegrasi Bangsa
Peran Agama, khususnya islam sebagai agama mayoritas di Indonesia senagat strategis bagi proses transformasi dan substansialisasi demokrasi di Indonesia. Keberhasilan Indonesia melaksanakan beberapa kali pemilihan umum dengan multipartai secara bebas dana aman menjadi pertanda keberhasilan peran agama dalam proses peralihan dan internalisasi demokrasi di Indonesia selanjutnya.
Dalam buku cita cita politik Islam di Era Reformasi, Nurcholis memberikan pandangan yang utuh: gagasan sederhana bahwa warga negara atau rakyat harus didengar suaranya dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka, bahwa rakyat punya hak untuk tidak di perlakukan secara tidak adil, bahwa pemerintah harus merespon hajat rakyatnya, dan seterusnya.
Kesuksesan Indonesia dalam berdemokrasi ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari karakter ideologi negara Pancasila yang fleksibel dan akomodatif terhadap perubahan mainstream politik global dimana demokrasi menjadi wacana dan prosedur utamanya. Kontribusi islam dan Pancasila terhadap proses demokratisasi sepanjang era reformasi ini telah berbuah positif bagi posisi Indonesia di mata dunia sebagai negara muslim paling demokratis di dunia muslim dan menempati peringkat ketiga



BAB III
PENUTUPAN

          3.1.            Kesimpulan
Hubungan antara agama & Negara dalah tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintah dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan Negara dilakukan atas titah Tuhan. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Kehidupan manusia, dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas
Tidak akan ada negara tanpa warga negara. Warga negara merupakan unsur terpenting dalam hal terbentuknya negara. Warga negara dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkaitan dan memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang berupa hubungan timbal balik. Warga negara mempunyai kewajiban untuk menjaga nama baik negara dan membelanya. Sedangkan negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan mensejahterakan kehidupan warga negaranya. Sementara untuk hak, warga negara memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak dari negara, sedangkan negara memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan dan penjagaan nama baik dari warga negaranya. Dapat disimpulkan bahwa hak negara merupakan kewajiban warga negara dan sebaliknya kewajiban negara merupakan hak warga negara.
Selain itu, tentunya kita sebagai warga negara Indonesia yang baik, memiliki banyak kewajiban yang harus kita laksanakan untuk negara. Diantaranya yang terpenting adalah mematuhi hukum-hukum yang berlaku. Negara membuat suatu peraturan dan hukum, pasti bertujuan yang baik untuk kelangsungan hidup dan tertatanya suatu negara. Hukum di Indonesia jika diklasifikasikan menurut wujudnya ada 2, yaitu Hukum tertulis (UUD, UU, Perpu, PP) dan Hukum tidak tertulis (Inpres, Kepres). menanggapi dan berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan negaranya, maka terwujudlah Indonesia yang aman, tentram, damai, dan sejahtera. Marilah kita saling menghargai satu sama lain demi Indonesia.
         3.2.            Saran
Sebagai warga negara, sudah selayaknya kita mengkaji lebih dalam hubungan antara agama dan negara. Selain untuk memperluas cakrawala berpikir, kelak ketika kita menempati posisi strategis di pemerintahan kita tidak terjebak pada arus perdebatan penyatuan agama dan negara. Sebab yang lebih penting itu semua adalah bagaimana kita bernegara atau memerintah sesuai dengan norma-norma yang diajarakan agama kita. Lantaran pada hakikatnya agama akan menuntun umatnya pada kebaikan. Jika kita bernegara dengan mengindahkan norma agama, niscaya kita akan menjadi warga negara dan pemimpin yang baik.
Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan agama, diperlukan usaha yang cukup keras. Salah satunya kita harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Selain itu, kita juga harus mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya.
Selain itu, dengan hak dan kewajiban yang sama setiap orang Indonesia tanpa harus diperintah dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara yang mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti:
1)      Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
2)      Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri
3)      Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau PKN
4)      Mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka.
Dan masih banyak lagi cara untuk membela negara. Selain itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan di atas, kita juga dapat menumbuhkan rasa bangga dan cinta terhadap tanah air Indonesia.
Sikap saling menghargai antar warga negara dan negaranya (pemerintah) sangat diperlukan untuk terciptanya dan terwujudnya tujuan NKRI yang tercantum di UUD 1945. Apabila warga negara mematuhi hukum dan peraturan negara, dan negara (pemerintah).



DAFTAR PUSTAKA
Asy’ary, Hasyim. Relasi Negara Dan Agama Di Indonesia. Jurnal RechtsVinding Online Di akses dari:   https://books.google.com/books?hl=id&lr=&id=1FkChaGcKwMC&oi=fnd&pg=PP1&dq=related:j-4dnnQHB4EJ:scholar.google.com/&ots=Hhg1PrY_vU&sig=yAZFNdJD4mX5uVJlCM_KnUWAIUA Pada 17 Maret 2020.
Gianto. 2019. Pendidikan Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia
Majid, Nurcholis. 1999. Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi. Universitas Machigan: Paramadina
Sholikin, Ahmad. Pemikiran Politik Negara Dan Agama “Ahmad Syafii Maarif”. Jurnal Politik  Muda, Vol 2 No.1, Januari-Maret 2012, hal .202 194-203202 Di akses dari:   http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/194-203%20Solikhin.pdf pada 17 Maret 2020.
Suastika, Nengah dan Sukadi. 2017. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: CV. Andi
Ubaidillah  dkk.  2006. Pendidikan Kewarganegaraan edisi revisi (civic education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta:  ICCE Jakarta-Kencana Prenada Media Group.
Ubaidillah. 2017. Pancasila Demokrasi dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: KENCANA

No comments:

Post a Comment

Cerdik Edukasi

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PROSES ISLAMISASI DESA SUKAHURIP KEC. PAMARICAN KAB. CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT

  SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PROSES ISLAMISASI DESA SUKAHURIP KEC. PAMARICAN KAB. CIAMIS   PROVINSI JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN A....